Buku Terlama yang Dibaca

Membaca buku ini, sepertinya memang butuh alasan sebesar gunung Manglayang, agar tekad bisa terus membara di sepanjangan halamannya.

Buku yang usianya sudah lebih dari 5 tahun semenjak dibeli ini, belum dibaca dengan tuntas. Baru sebagian saja, tetapi sepertinya layak untuk dibuat resensinya. Sebab, tiap bagiannya lebih baik dibuat resensi terpisah.

Ada yang bisa menebak buku apa yang sedang saya baca?

Judulnya, Fii Zhilalil Quran, Dalam Naungan Al-Quran. Buku yang ditulis oleh seorang pembaharu pada zamannya di dalam penjara. Yang terbayang saat membacanya adalah, bagaimana bisa seseorang menulis untaian sedalam dan seindah itu di tempat yang paling tidak nyaman yang pernah ada.

Ada yang bilang, buku ini bukan buku tafsir, sebab banyak interpretasi penulisnya yang didasarkan pada buku tafsir lainnya. Namun, entah mengapa saya justru terbawa dalam alunan merdu kisahnya lewat buku ini.

Di bulan Mei yang bertepatan dengan bulan suci Ramadan kemarin, alhamdulillah saya berkesempatan untuk membaca sebagian kecil dari jilid terakhir dari paket buku ini. 

Jilid ke-12, yang memuat surat-surat pendek di ujung Al-Quran, juga beberapa surat di juz 29.

Tafsir yang saya baca berjumlah empat surat, mulai dari surat Al-Jinn hingga Al-Qiyamah. Empat surat yang membuat saya mengambil buku lain untuk mencatat setiap hikmah yang saya dapat di tiap kalimat. Ya, rasanya begitu sayang membaca untaian hikmah tanpa mengikatnya dalam bentuk tulisan.

Kira-kira seperti inilah gambaran ketika saya membaca buku Ustadz Sayyid Quthb ini, dengan sebuah buku catatan dan sebuah pulpen yang nyaman untuk menulis.

Kisah pertama, tentang makhluk Allah yang tak kasat mata, yang ternyata begitu takjub mendengar lantunan ayat dibaca. Fragmen pertama yang membuat diri ini berkaca, adakah hal itu juga ada pada hamba? Mendengar lalu terpana, mendengar lalu mengajak kawanannya serta, mendengar lalu berusaha mencipta amal.

Tentang bagaimana makhluk Allah yang tercipta dari api itu berlepas diri dari manusia yang kadang meminta tolong padanya. Tentu saja karena ia menyadari bahwa mereka sama-sama hamba yang tak punya kuasa.

Lalu, mengapa masih banyak manusia yang merasa makhluk yang disebut jin itu lebih baik dari mereka, yang justru didaulat sebagai khalifah?

Surat kedua, Al-Muzzammil.

Dianggap surat kedua yang turun setelah wahyu di gua Hira. Surat yang menenangkan jiwa setelah wahyu terputus cukup lama. 

Dan, isinya tentang perintah yang dianggap wajib oleh semua. Salat sepanjang malam kecuali sebagian kecil saja, dan membaca al-Quran dengan perlahan hingga meresapi maksudnya. 

Konon katanya ini adalah obat pembangun jiwa, persiapan ruhani yang Allah siapkan untuk menghadapi boikot kota beberapa tahun setelahnya.

Ketergantungan hamba yang hanya pada-Nya, membuat boikot ekonomi yang menghimpit jiwa tidak sampai menggerogoti iman yang ada.

Surat yang juga menjadi jaminan bahwa Allah yang akan membalas semua perlakuan tidak adil kaum kafir Quraisy yang tidak mau percaya.

Bahkan, perumpamaan kisah Firaun yang mendurhakai Musa pun diangkat agar bisa diambil pelajaran atasnya. Sayang sekali, hati mereka sudah tertutup dari jalan cahaya.

Lalu, akhir surat yang hangat, seolah pemakluman dari Dzat Yang Maha Mengetahui, kemampuan hamba yang lemah. Maka, salat malam yang sudah berjalan beberapa lama, ternyata tidak wajib. Sebab, Allah tahu banyak sekali uzur yang menyertai makhluk istimewa ini.

Surat ketiga, Al-Muddatsir. Surat yang secara arti namanya, mirip dengan surat sebelumnya. Orang-orang yang berkemul atau berselimut karena keresahan hatinya.

Hanya perintahnya kini berbeda, bukan lagi mengisi jiwa, tetapi mengajak sesama. Berilah peringatan, terus mengagungkan Tuhan, juga penampilan yang prima.

Pengingat agar ikhlas dan bersabar dalam prosesnya yang tak akan mudah.

Lalu, mulailah.
Ayat-ayat yang berisi hardikan pada orang-orang kafir dan apa yang akan terjadi di akhir hidupnya. Neraka Saqar yang menjafi tempat kembalinya, dan sebab-sebab mereka masuk ke sana.

Tidak salat. Tidak memberi makan orang miskin. Berbincang tentang kebatilan dan mendustakan hari pembalasan hingga ajal menjemput.

Surat terakhir yang saya baca adalah Al-Qiyamah. Dari namanya saja, sudah pasti akan tentang apa kisah di dalamnya.

Kiamat, saat semua hal di dunia dibalas dengan sepadan di akhirat sana.

Membantah mereka yang tidak percaya bahwa setelah menjadi tulang belulang, suatu saat akan bangkit lagi dengan bentuk yang sama.

Perbedaan raut wajah mukmin dan kafir, ketika bersiap mendapat balasan atas apa yang dilakukannya di dunia. Hal yang sempat diragukan oleh yang kafir karena menganggap hidup hanya di dunia saja.

Ditutup dengan kalimat indah yang memastikan Mahakuasanya Ia sebagai Khaliq.

Bukankah Allah (yang berbuat- menyempurnakan penciptaan yang berasal dari mani-) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?

Buku yang sarat hikmah, agar kita tak lagi menganggap Al-Quran hanya sebagai bacaan, tetapi juga tuntunan. Membacanya, seolah berusaha mengerti apa yang sedang Ia inginkan pada kita, hamba-Nya.

So, buku ini layak dibeli walau harganya cukup mahal. Dan, selamat -mencicil- membaca!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

re arrange