Memaafkan Dia
Review buku Sabtu Bersama Bapak
Penulis : Adhitya Mulya
Tebal : 278 hlm
______________
Buku ini bukan buku yang baru saya baca, saya sudah baca berulang kali. Lebih dari lima kali. Namun, buku ini pilihan yang tepat ketika hati ingin belajar memaknai lagi tentang ikatan antar anggota keluarga.
Saya suka novel, suka sekali. Dan, novel ini ada di jajaran atas dari sekian banyak novel yang saya sukai. Ceritanya begitu dekat, apalagi ketika novel ini difilmkan. Tokoh utamanya, Satya dan Caka adalah dua aktor kesukaan saya, Arifin Putra dan Deva Mahendra. 💝
Kisahnya tentang seorang bapak yang menyiapkan kaset berisi rekaman kata-katanya untuk kedua anaknya. Sang bapak mulai merekam ketika mengetahui dirinya sakit dan hanya memiliki waktu sebentar lagi di dunia.
Pesan-pesan dari sang bapak menemani hampir semua bagian dari kehidupan sang anak. Jauh secara fisik, tetapi dekat di hati. Sungguh suatu hal yang ironi di tengah realita yang banyak terjadi. Kebanyakan ayah justru hadir secara fisik, tetapi tidak memberikan kesan mendalam pada anak. Jika tertanam kesan pun, biasanya justru negatif.
Kisah dipaparkan dengan alur maju-mundur, flashback saat bapak masih ada, lalu kembali ke masa sekarang. Terus berulang.
Perasaan sayang, cemas, hangat terasa ketika membaca percakapan antar tokohnya.
Sungguh, iri!
__________
Adalah bapak saya, seseorang yang dari saya kecil, jarang sekali ada di sekitar saya karena alasan pekerjaan. Dan, setiap kali ia datang, ada rasa ketakutan yang muncul karena beliau agak keras.
Tidak, sekali pun ia tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Hanya saja, nada bicaranya yang khas orang sebrang, perawakan tinggi besar yang kadang membuat orang mengira bahwa beliau ada turunan Arab dan semua pengalaman hidupnya di masa lalu, memang membuatnya begitu 'seram' di mata saya.
Kenangan yang paling indah adalah ketika beliau memaksa kami (saya dan adik-adik) untuk menghafal al-Quran. Paling indah karena suaranya saat mengaji masih menjadi alunan paling merdu yang pernah kami dengar hingga kini.
Membandingkan Bapaknya Cakra dengan bapak saya jelas bukan hal yang seimbang. Namun, saya belajar beberapa hal dari kisah Bapak di Sabtu Bersama Bapak.
Pertama, ikatan nasab memang mengalir pasti, tetapi ikatan hati perlu dipilin berseri.
Tidak mungkin bisa serta merta terjadi. Harus ada usaha dari kedua belah pihak, terlebih pihak orangtua.
Pada kisah Cakra, kedekatan secara emosional antara anak-ibu, anak-ayah dan adik-kakak terjalin begitu hangat karena memang diupayakan sejak lama.
Sungguh bukan hal mudah bagi yang tidak terbiasa mengekspresikan rasa.
Perasaan saling sayang yang diucap dan dibuktikan. Saling menghargai dan keengganan menyakiti. Masukan karena sayang, bukan karena benci.
Kedua, bapak adalah pemimpin yang akan membawa bahtera keluarga menuju tempat yang diharapkan oleh semua anggotanya.
Pada kisah Cakra, jelas apa yang dituju. Dan, semua merasa nyaman dengan arahan sang kapten.
Pada kisah kami, berulang kali kami harus terhenti untuk memastikan kapal kami tidak karam atau berlayar ke arah yang salah.
Alhamdulillah, kami tetap bertahan hingga kini.
Ketiga, persiapan materi, kendati pun kelihatannya sangat duniawi, adalah hal yang harus dipikirkan matang-matang.
Zuhud bagus, tetapi ikhtiar tetap kudu maksimal.
Dermawan bagus, tetapi paham mana batas bawah yang dibutuhkan orang-orang terdekat, sehingga tidak melarat.
Jangan membebani anak, jangan biarkan ia jadi generasi sandwich.
Apalagi ya?
Saya jadi belajar menerima, memaafkan semua kekurangan yang mungkin tidak saya dapatkan dari hubungan ayah-anak. Dan, jadi punya standar yang cukup baik untuk mencari bapak bagi anak-anak saya kelak.
Happy reading, selamat menebarkan cinta dalam keluarga.
Komentar
Posting Komentar