Berani Bermimpi Lagi
Semenjak badai dalam kehidupanku tiga tahun ke belakang. Rasanya bermimpi adalah hal yang jarang kulakukan. Bagaimana jika bermimpi diganti saja dengan bertahan sesuai kemampuan diri. Rasanya, bisa bertahan saja sudah sebuah hal istimewa yang bisa kulakukan.
Nyatanya, Mahabaik Allah. Ia justru membukakan jalan untuk mewujudkan mimpiku justru setelah badai terjadi. Daftar impian masa lajang pun satu persatu bisa diceklis dengan perasaan bangga yang susah digambarkan dengan kata-kata.
Ingin jadi penulis
Seorang teman lama begitu kaget ketika tahu bahwa aku belum pernah satu kali pun menelurkan karya. Mungkin tidak berniat meremehkan, tetapi yang terasa sih begitu.
So what?
Aku memang suka menulis, berkali-kali ikut lomba dan selalu tidak lolos. Bukan berarti aku bukan penulis, kan?
Akhirnya kutahu bahwa si empunya komen baru saja memiliki satu buku antologi.
Oh, oke, kita balas nyinyir dengan karya.
Impian pertama yang terwujud adalah buku antologi pertamaku tentang alasanku menulis. Karya pertama yang membuatku bergetar ketika membaca pengumumannya. Tulisanmu nanti ada di buku itu, ya...
Inilah titik poin yang membuatmu berani bermimpi lebih besar. Ingin punya 10 buku di tahun ini, atau 100 buku sebelum 40 tahun?
Ingin menulis kisah tentang pengasuhan seorang single mom, atau apa pun yang bisa menguatkan orang lain di luar sana yang mengalami hal serupa. Bismillah, kita masih punya Allah. Dia tidak mungkin memberi kita perjalanan hidup yang tak bisa kita hadapi.
Ingin kolaborasi bareng anak, bercerita lewat gambar-gambar mereka yang unik dan orisinil. Sebagai bukti cinta bahwa kami pernah membuat buku bersama-sama.
Dapat porsi untuk pergi haji
Mimpi macam apa ini? Tidak punya penghasilan, tidak punya sang pencari nafkah.
Namun, pasti ada jalan bagi siapa pun yang mau melangkah. Setelah sekian lama puas dengan tabungan per bulan, akhirnya bisa 'memaksakan' diri untuk melunasi batas minimal tabungan. Dilanjut dengan mengurus berkas ke departemen agama, lalu mendapat perkiraan tanggal berangkat.
Semudah itu. Uangnya dari mana? Entah mengapa ketika membulatkan tekad, ada saja rejekinya. Dan, tidak lagi merasa takut akan kekurangan materi untuk dunia.
Ada Allah. Ada Allah tempat mengiba.
Perginya mungkin setelah usia 40 tahun, sekarang mari kencangkan doa agar bisa pergi lebih awal, dalam kondisi terbaik.
Keliling Indonesia
Dari Yogya semuanya bermula. Entah mengapa keluarga besar begitu antusias dengan rencana ini. Pemesanan tiket, persiapan tempat menginap, lokasi wisata yang dituju, rental kendaraan.
Rasanya bukan aku yang menyiapkan semua. Namun, malam itu kami benar-benar pergi. Rombongan besar pertama minus si pengais bungsu. Walau terpisah tempat duduk di kereta, walau losmen jauh dari harapan.
Inilah tempat pertama yang membuatku berani bermimpi, kita bisa kok keliling Indonesia. Pelan-pelan, jangan maksa, nabung aja dulu. InsyaaAllah kalau uangnya sudah cukup, kita pergi.
Hadiah dari Allah mah pasti akan tiba di waktu terbaik, di saat lagi butuh-butuhnya, dan rehat sejenak di saat kelelahan yang memuncak, pasti akan terasa lebiiih nikmat.
Hafizhah, wanna be
Mimpi ini, adalah mimpi pertama yang kadang terlupakan. Beberapa kali Allah kasih jalan, dosanya masih numpuk sampai-sampai hati nggak tergerak.
Mukhoyyam Tahfizh, berkumpul sama yang lisannya basah dengan al-Quran.
Karantina Tahfizh, bareng pejuang cilik kejar setoran.
Dan sekarang Allah uji aku lagi, dengan cerita masa lalu yang indah, jumlah hafalan yang pernah dihafal dengan mudah tetapi tak membekas sempurna, Allah minta aku mulai dari awal, dari hamzah.
Berkali-kali dibetulkan musyrifah bahkan hanya untuk melafalkan hamzah.
Wahai Rabb, bahkan untuk huruf awal dari barisan hijaiyah, belum Kau izinkan hamba untuk menguasainya.
Namun, semangat tak boleh padam.
TIDAK BOLEH.
Mari berikhtiar saja, biar Allah melihat kesungguhan kita dan akhirnya meridhoi kita ada di kumpulan waliyullah, keluarga Allah di bumi.
Komentar
Posting Komentar