Kupikir Aku yang Paling Tahu Tentangmu

Siang itu, terasa begitu pilu. Bukan, bukan karena ada hal buruk yang terjadi, tetapi karena aku merasa tidak 'sebaik' itu sebagai ibu.

"Bu, bisa dilihat ya, Bu, postur anak ibu..." Sang terapis sekolah yang baru hari itu melihat anakku dengan seksama langsung bisa 'menemukan' beberapa kondisi tak biasa pada Abang.

Perbedaan yang pertama adalah telapak kaki yang datar. Aku pernah mendengar istilah ini dan apa pengaruhnya pada tumbuh kembang anak.

Anak dengan telapak kaki datar biasanya memiliki gangguan keseimbangan. (https://www.google.com/amp/s/id.theasianparent.com/telapak-kaki-datar-kelainan/amp)

Bukan hanya itu, perbedaan kedua adalah postur ketika Abang berdiri tegak. Posisi perut abang terlihat sangat maju (seolah-olah buncit) padahal ini terjadi dikarenakan bagian bawah belakang punggungnya masuk (menekan ke arah perut).

Penyebabnya adalah karena telapak kakinya rata (tidak ada lengkung terowongan di telapaknya). Tubuh bertumpu ke tengah, sehingga untuk membuat badan terlihat tegap, ia memajukan perutnya.

Biasanya anak dengan gangguan ini akan mengalami gangguan pencernaan.

Rasanya sedih dan bahagia.
Sedih karena aku, ibu yang 24 jam bersama si anak justru tidak memperhatikan anak sedetil itu. Apalagi tanpa ilmu yang memadai, kupikir Abang adalah anak sehat yang aktif bergerak.

Bahagia, karena akhirnya aku menemukan penyebab mengapa dulu Abang sangat mudah pup sehabis makan (dalam jeda waktu yang cukup sebentar).

Kupikir aku, ibumu, yang akan paling tahu tentangmu, Bang, tetapi ternyata bukan.

Beberapa PR diberikan oleh sang terapis agar Abang bisa memperbaiki posturnya. Lompat dengan kaki jinjit tanpa berpindah tempat, duduk di dinding (tanpa kursi, punggung rapat ke dinding, kedua paha rapat dalam hitungan 15 kali) juga berenang.

Bismillah ya Bang, semoga ini menjadi salah satu ikhtiar kita untuk terus menjaga kesehatan fisik kita secara optimal.

Ups, tapi hasil observasinya belum selesai.

"Bu, menurut Ibu, Abang ini mental age-nya bagaimana?" tanya sang terapis lagi.

Aku menggeleng, tanda tidak mengerti arah pertanyaannya.

Apakah ia bertingkah seperti anak seusianya, di atas itu atau malah di bawah itu?

Jawabanku tentu saja di atas usianya. Kupikir ini bagus untuk mendewasakan Abang, kuberikan Abang beberapa 'tanggung jawab' kecil, tetapi ternyata itu tidak benar.

"InsyaaAllah, kami akan mencoba mengembalikan fitrah Abang menjadi anak dengan usia seperti usianya," jelasnya.

Maaf ya, Bang, Bunda banyak menuntut Abang untuk jadi lebih dewasa. Padahal Abang kan hanya anak Bunda yang baru berusia 6 tahun.

Mengapa Abang diobservasi oleh terapis?

Tenang saudara-saudara, Abang baik-baik aja, kok. Observasi Abang ini dilakukan di sekolah barunya. Mengambil waktu di awal tahun ajaran, untuk mengetahui intervensi seperti apa yang perlu dilakukan pada Abang selama bersekolah.

Proses wawancara pun membuatku menelisik jauh ke belakang, pada usia setahun pertama yang dilalui Abang.

Apakah aku masih mengingatnya?
Berat lahir Abang, kapan Abang mulai merangkak lalu kemudian berjalan, hal-hal yang dianggap kecil, padahal justru banyak menentukan tumbuh kembang Abang di usia yang lebih besar nanti.

Kedua proses ini (wawancara dan observasi) membuatku bersyukur telah dipertemukan dengan orang-orang baik, yang insyaaAllah mampu menjadi partner yang tepat untuk tumbuh kembang Abang.

Bang, alasan inilah yang membuat Bunda menjadi lebih tenang melepas Abang ke sekolah.

Selamat belajar ya Bang. Selamat bertumbuh. Bunda akan selalu ada di sini, untuk mengikuti seluruh proses tumbuh kembangmu.

Bandung, 14 Juli 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

Day 2 : Tema Blog yang Paling Disukai