Belajar dari Ibu Widi


Foto diambil dari laman instagram Ibu.

Entah kenapa, tiba-tiba ada cerita tentang keluarga mereka di laman instagram saya. Mungkin ada salah seorang teman yang menaruhnya di story, lalu sampailah ke akun seorang MC kondang, Teh Indy Barens, lalu sampailah di video dengan durasi cukuuup panjang, tetapi nyaman untuk ditonton dari awal sampai akhir.

Dan, saya menangis beberapa kali sepanjang menonton.

Ibu Widi, ini bukan kali pertama saya main ke instagram Ibu. Biasanya karena suka dengerin suara Widuri nyanyi atau main piano. Atau sekadar liat foto-foto anti main stream keluarga Ibu.

Dan, selalu bilang bahwa Bapak itu family man ternyata ya (masih sulit menghilangkan kesan Mas Adi di film Tetangga Masa Gitu 😁).

Berita itu juga sempat mengagetkan saya, Bu.

Tapi video ini, menjelaskan pada saya bahwa tiap ujian itu 'sudah ditetapkan sesuai kadar kemampuan penerimanya'. Dan, Ibu...seistimewa itu.

Dari video itu saya belajar banyak hal.

Pertama, tentang penerimaan kita terhadap suatu masalah.

Ibu terlihat tenang sekali, dan saya iri. Betapa saya lebih sering panik ketika menghadapi sesuatu yang tidak sesuai prediksi. Sekalipun saya tahu bahwa panik bukanlah solusi.

Betapa trenyuh saat Ibu bilang kita tidak sedang baik-baik saja, itu nggak papa kok.

Ya, betapa seringkali saya memaksa diri untuk begitu kuat menghadapi sesuatu, hanya agar menenangkan semua orang yang ada di sekeliling saya. Padahal tidak begitu.

Mereka yang di sekeliling saya juga perlu tahu bahwa saya manusia biasa, yang juga bisa sedih, marah, bingung dan beragam perasaan lain yang butuh diakui.

Dan, melihat Ibu sedih, membuat saya bertambah yakin bahwa...kesedihan itu tidak membuat kita hina. Justru memastikan bahwa kita selalu berusaha kuat, walau masih ada tangis.

Setelah menjadi manusia seutuhnya, kemudian pilihan Ibu untuk segera bangkit adalah hal selanjutnya yang membuat saya kagum.

Boleh bersedih tapi harus (berusaha) bahagia lagi.

Hal kedua adalah tentang hubungan Ibu dan anak-anak. Dru, Widuri dan Denbagus.

Bu, saya juga menghadapi masalah yang cukup berat ketika anak saya masih kecil-kecil. 

Mereka saya ajak pada pilihan saya untuk berpisah dari Ayahnya, tanpa mereka tahu kenapa tiba-tiba Ayah tidak lagi ada di sini, di rumah kita.

Hingga akhirnya, kemarin tanggal 28 Juni, anak bungsu saya yang tahun ini genap enam tahun bertanya...

"Bun, kenapa Ayah harus ganti istri?"

Pertanyaan sulit yang belum siap saya jawab. Dan, membuat saya sadar bahwa dulu Abangnya juga bertanya hal yang sama di usia serupa.

Ternyata ini saatnya, Bu.

Seperti kata Ibu, anak-anak harus tahu masalah yang sedang terjadi, dari orang yang paling ia percayai. Ibunya, karena Ibu nggak pernah sekalipun berbohong.

Tentu saja disesuaikan dengan usianya.

Dulu, Abangnya bertanya kenapa Ayahnya harus pulang ke rumah yang lain? 

Dan, Abang bisa puas dengan jawaban, karena Ayah sudah punya keluarga baru, jadi harus pulang ke sana.

Untuk pertanyaan Neng, masih dicari jawabannya.

Saya belajar untuk terus menanyakan perasaan anak-anak dengan kondisi kami yang berbeda dengan kebanyakan temannya.

Abang tidak canggung bilang pada teman-temannya bahwa ia punya dua orang ibu, yang satu Bunda dan yang kedua istri Ayahnya yang sekarang.

Saya sering bertanya, apakah Abang sedih? apakah kangen?

Namun, nampaknya ia mulai terbiasa dengan kondisi kami. Bahkan membuat ini di Canva.

Membuat nama keluarga, lalu menghiasnya.

Saya akan terus ingat bahwa mereka berdua adalah sumber kekuatan abadi, yang akan menemani saya sepanjang hayat.

Pelajaran ketiga adalah, tentang bagaimana memperlakukan pasangan di depan anak-anak.

'Saya tahu dia salah, dan tidak membenarkannya. Namun, saya harus tetap mendukung diri (cara)-nya untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya'

Ketika pasangan membuat luka, mengobati hati sendiri saja sudah sedemikian sulitnya. Lalu bagaimana agar citra pasangan tetap baik di mata anak-anak, yang pasti akan mengidolakan sosok Bapak.

Yang ada, saya kadang menjadikan hal itu sebagai ancaman. Anak-anak saya yang tidak suka ketika diajak menginap di rumah Ayahnya, akan berusaha sebaik mungkin di rumah agar saya tidak perlu menelepon Ayah mereka untuk menjemput.

Betapa kadang, ketika saya 'lelah mengasuh', saya kadang berpikir anak-anak ini kan tanggung jawabnya juga, sudah seharusnya ia juga ikut mendidik dengan caranya.

Namun, sungguh. Sehari tanpa anak-anak bisa membuat hati kosong alias hampa.

Jawaban Ibu, buat saya geleng-geleng kepala. Kok bisa setenang dan selembut itu menjelaskan masalah pelik kepada tiga anak secara bersamaan.

'Bapak kalian nggak jahat, kok. Dia melakukan kesalahan, tetapi bukan orang jahat'

Dan, terakhir melihat rekaman videocall Bapak dan anak-anak, membuat saya yakin bahwa kelekatan yang lama terjalin, yang dicicil sejak hari pertama mereka lahir hingga usianya kini, tidak akan rusak hanya karena satu kekhilafan.

Anak yang nyaman bercerita tentang apa saja. Bapak yang berusaha tenang dan menjawab dengan style-nya.

Kalian akan baik-baik saja, Bu. Semoga Ibu, Bapak dan tiga krucil akan segera berkumpul lagi di rumah.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

re arrange