Hadiah Istimewa Ramadhan 1441 H

Ramadhan kala pandemi, sungguh bukan hal yang diidam-idamkan oleh siapa pun. Namun, Allah justru memberikan keduanya secara berbarengan pada kita, maka pasti ada hikmahnya.

Berbarengan pula dengan jadwal orang-orang terkasih pulang dari luar negeri. Bapak dijadwalkan pulang pertengahan Maret dari Saudi Arabia dan adik-adik pulang akhir Maret dari Jepang.

Jelas, ada perasaan waswas karena penularan virus kebanyakan dari orang yang berinteraksi dengan orang yang baru pulang dari luar negeri.

Bapak, seperti orangtua paruh baya pada umumnya, tidak terlalu suka dengan prosedur yang terkesan merepotkan. Isolasi mandiri, pisah kamar, kamar mandi juga perlengkapan makan. Social distancing selama 14 hari untuk orang yang mengusahakan solat lima waktu di masjid memang tidak mudah.

Diawali dengan penolakan yang membuat kami khawatir (pada Bapak dan pada orang-orang yang ditemuinya di masjid). Sampai akhirnya Bapak sakit dengan gejala yang 'mirip-mirip' gejala covid 19.

Adik yang satu ada yang berinisiatif menghubungi puskesmas, adik yang satu lagi, yang pernah kuliah keperawatan berusaha memantau kondisi dari hari ke hari.

Saya, termasuk orang yang hampir melakukan social distancing sempurna ke Bapak, berusaha melindungi diri karena punya masalah gangguan pernapasan yang hilang-timbul, juga karena punya dua anak kecil yang juga rentan.

Namun, perkataan seorang adik menyadarkan saya, bahwa Bapak mungkin sakit fisik, tetapi hatinya akan jauh lebih sakit kalau anak-anaknya malah terkesan menjauh.

Dalam hati dagdigdug, tetapi membenarkan perkataan si adik.

Hari ini, perkataan adik ternyata selaras dengan apa yang dituliskan Sayyid Quthb dalam Fii Zhilalil Quran, penjelasan surat al-Mudatsir ayat 31 yang berbunyi :

Kita tidak mengetahui kehendak Allah yang gaib terhadap kita, akan tetapi kita mengetahui apa yang dituntut Allah kepada kita agar kita layak mendapatkan karunia-Nya yang telah diwajibkan-Nya atas diri-Nya.

Setelah ikhtiar, dengan memakai masker ketika bertemu Bapak ketika isolasi dan tidak bersentuhan langsung, saya merutinkan diri untuk terus menyuapi Bapak sesendok minuman bernutrisi agar perut Bapak selalu terisi setiap pagi (sebelum Ramadhan), juga menanyakan apakah beliau mau makan di tiap waktu makan.

Ya, sebagai anak, birrul walidain tidak berhenti hanya karena Bapak sakit, bahkan bila ternyata sakitnya parah. Apalagi Bapak, belum diketahui sakitnya apa.

Interpretasi saya adalah kegaiban takdir Allah soal siapa yang akan tertular dan siapa yang akan terus sehat memang hanya Allah yang tahu, tetapi kewajiban kita untuk berbuat baik pada Bapak bisa jadi menjadi suatu sebab Allah akan memberikan karunia-Nya yang telah Ia janjikan pada hamba-Nya yang Ia kehendaki.

Maka, sejak saat itu saya memberanikan diri merawat Bapak, bahkan sebulan kemudian Bapak mendapat kesempatan mengikuti rapid test gratis dari kelurahan, saya dapat kesempatan untuk mengantarkan beliau ke puskesmas.

Alhamdulillah, hasilnya negatif.
Alhamdulillah, kesehatan Bapak sudah jauh berangsur menjadi lebih baik dari sebulan sebelumnya.

Belum lagi, kabar kepulangan adik membuat Bapak menjadi lebih bersemangat untuk bertemu cucu pertama dari anak laki-lakinya.

Setelah adik isolasi mandiri dan sehat, akhirnya kesempatan itu pun Allah berikan pada kami. 

Kumpul sekeluarga besar.
Semoga saya dan keluarga bisa melewati pandemi ini dalam ketaatan penuh pada Allah. Memaksimalkan birrul walidain dan husnuzhon pada Allah.

Sambil terus memunguti tiap hikmah dalam tiap perjalanan, menjadikan tiap kisahnya menjadi bahan bakar penguat iman.

Baarakallah.

Bandung, 29 Ramadhan 1441, di rumah aja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

re arrange