Surat Terbuka untuk Kim Ji-Yeong (Review Buku Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982)

Judul Buku : Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982
Penulis : Cho Nam-joo
Alih Bahasa : Iingliana
Tebal : 192 halaman
__________________
Berawal dari dua buah judul film yang sering sekali muncul di laman facebook saya, lalu 'berusaha' saya cari di web penyedia film korea tetapi tidak juga ditemukan. Ternyata filmnya masih tayang di CGV yang hanya bisa ditonton di tiga tempat saja di kota saya, Bandung. Sempat membuat rencana untuk menonton bersama teman, lalu akhirnya batal karena saya tidak dapat izin dari kedua anak saya, dua orang yang paling saya pikirkan ketika menimbang sebuah pilihan atau mengambil sebuah keputusan.

Lalu, rekan saya mengunggah buku ini di laman instagramnya. Dan, saya pikir, saya masih punya harapan untuk mengetahui kisah tentang wanita korea yang usianya tidak terlampau jauh dari saya.

Saya bahas dari segi penerjemahan ya, karena ini adalah buku terjemahan kedua yang saya baca bulan ini. Bukunya memang terkesan baku, bukan kisah yang mengalir seperti membaca buku harian seseorang. Namun, karena saya ingin mengenal tokohnya secara lengkap, saya bisa menghabiskan buku ini dalam waktu kurang dari 10 jam.

Dari segi kisah, sungguh, saya ingin sekali membaca kisah Kim menghadapi PPD (Post Partume Depression)-nya. Dalam buku ini, kisah ini hanya dicuplik sedikit di bagian awal. Sedihnya.

Dalam buku ini, lebih menceritakan kisah Kim dari lahir hingga dewasa, hal-hal yang secara tidak langsung mempengaruhi sikap dan perilaku Kim setelah melahirkan. Ditulis dari sudut pandang seorang psikiater yang membantu proses terapi Kim.

Betapa setelah membacanya, saya ingin sekali bisa menuliskan surat untuk Kim Ji-Yeong, betapa saya banyak bersyukur menjadi diri saya yang terlahir di bumi Indonesia, dengan agama Islam dan tumbuh menjadi muslimah yang terus belajar kaffah.

Mungkin surat di bawah ini adalah hal-hal yang paling ingin saya sampaikan pada Kim.
____________
Dear, Kim. Perkenalkan, saya Wafaa, anak sulung dari keluarga besar dengan jumlah anak perempuan hampir 4 kali lipat dari jumlah anak laki-laki.

Perempuan yang tumbuh dan besar tanpa pengasuhan seorang ayah karena alasan pekerjaan, dan hidup bersama seorang ibu yang kuat, seperti ibumu.

Kim, saya bersekolah di tempat tante saya mengajar. Dan, saya hampir menjadi juara kelas setiap tahunnya. Saya tahu beberapa anak laki-laki juga mengganggu saya sambil mengolok-olok karena saya adalah ponakan dari seorang guru di sana, tetapi saya juga akhirnya tahu bahwa beberapa dari mereka yang mengganggu saya memang menyimpan perasaan kagum (atau suka) kepada saya, karena mereka menyampaikannya langsung.

Saya juga sedih saat itu, tetapi entah mengapa, saya juga sulit berteman dengan anak perempuan. Saya biasa duduk di dalam kelas saat istirahat sambil menyaksikan dua orang teman laki-laki saya bermain sepak bola dengan gulungan kertas kecil dan kertas yang dilipat dua membentuk segitiga, yang ketika ditepuk akan membuat gulungan kertas pertama terlempar jauh seperti orang menendang bola.

Kim, berbeda denganmu, sejak awal, saya bahkan tidak punya keinginan untuk bekerja di perusahaan mana pun. Dan, takdir membawa saya ke sebuah lembaga pendidikan yang baru saja dirintis keluarga dan 'memaksa' saya aktif di sana.

Maka, ijasah saya belum pernah digunakan sampai tahun kemarin, ketika lembaga yang kami kelola membutuhkan arsip untuk melengkapi administrasi dan ijasah saya pun akhirnya berguna juga.

Semenjak kuliah, saya sudah bermimpi menjadi seorang istri dan ibu yang baik. Seorang teman bahkan merasa perlu meminta izin pada saya karena ia akan menikah lebih dulu daripada saya, karena saya sudah menyampaikan keinginan untuk menikah sebelum kami memulai menyusun tugas akhir.

Maka, ketika menikah dan langsung hamil sebulan kemudian. Perasaan saya justru bahagia sekali. Peristiwa melahirkan yang menakutkan seketika terhapus ketika saya menemukan sebuah nama dari hafalan Al-Quran (kitab yang jadi pedoman di agama saya) untuk anak pertama saya. Bahagianya ketika mendengar tangisnya pertama kali dan saya bisa menggendongnya. Bahkan saya bisa menahan rasa sakit akibat infeksi jahitan bekas proses kelahiran.

Saya sempat merasa tidak berguna karena saya hampir tidak mendapat peran di awal menjadi ibu, semua orang di sekitar saya juga sama-sama menikmati kehadiran bayi pertama dari keluarga besar kami. Dan, saya hanya kebagian tugas menyusui. Namun, saya akhirnya sadar bahwa semua bantuan mereka adalah hal yang harus disyukuri. Badan saya sakit, banyak hal tentang mengurus bayi yang belum saya tahu, saya pasti akan kerepotan bila sendirian.

Saya tidak pernah iri pada mereka yang berpakaian rapih dan berdandan cantik untuk pergi bekerja. Saya menikmati membuat beragam permainan untuk menstimulus anak, tanpa perlu mendengar orang lain menyalahkan pilihan yang saya ambil.

Kim, dalam Islam, perempuan tidak pernah jadi makhluk nomor 2. Banyak aturan justru membuatnya jadi makhluk istimewa. Dan, saya pun justru merasa istimewa karenanya.

Jika kamu merasa, bahwa hidup ini tidak adil bagi wanita, saya justru merasa sebaliknya. Begitu menyenangkan menjadi seorang wanita muslimah. 

Mari berbincang lebih banyak, Kim. Mari mengenal Islam, agama yang paling memuliakan wanita.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

re arrange