Kotak Kaca
Pernah melihat kotak kaca di sekelilingku? Kotaknya memang bening, hingga mungkin kalian tidak menyadarinya.
Kalian tetap bisa melihatku, tetapi aku tidak bisa kemana-mana. Beberapa kali mencoba berlari kemudian terhenti lagi. Karena dia.
Aku melihat fajar, melihat senja.
Memandangi hujan, juga daun kering yang jatuh perlahan.
Aku mengikuti langkah kaki yang mulai menjauh, mereka yang lebih dulu berani untuk keluar dari kotak kacanya.
Namun, hingga kini aku masih merasa nyaman dalam kotak kacaku.
Iya, kalian bisa melihatku jelas. Ketika aku bangun dan bahkan mungkin saat lelapku. Melihatku tetap tersenyum dan berdiri setegar karang.
Kalian mungkin merasa tidak perlu bertanya, bagaimana keadaanku kini, karena aku memang terlihat baik-baik saja.
Kalian hanya terlalu baik, selalu berpikiran positif tentangku. Kalian membiarkanku dan membuatku merasa tidak perlu melakukan perubahan apa-apa, selain menjadi diriku yang dikelilingi kotak kaca.
Padahal ini mulai menyakitiku.
Kotak kaca yang dulu, yang membuatku merasa aman. Yang membuatku yakin tidak akan ada orang yang bisa menyakiti raga dan hatiku di dalam sini. Perlahan mengecil, tanpa kusadari. Kotak ini tidak membuatku sesak, tetapi jelas memperkecil langkahku.
Beberapa bilang padaku, lepaskan saja, mari melangkah maju. Dia hanyalah kotak kaca, kan? Kamu tidak pernah menyembunyikan apa pun.
Beberapa bahkan setengah memaksa. Tinggalkan saja kotakmu, sudah saatnya kamu berlari lagi.
Andai semudah itu.
Beberapa kali aku berusaha membukanya sangat perlahan. Mengangkat sebagian kotak kaca dengan kedua tanganku. Namun, belum sampai setengahnya dan badanku gemetar.
Sibuk memikirkan apa yang akan kalian lihat pada diriku yang tanpa kotak kaca. Sibuk membayangkan apa jadinya aku tanpa si kotak.
Padahal aku tau, kalian tidak mempermasalahkan itu.
Kalian meyakinkanku bahwa tidak akan ada yang pergi, sebagai tanda bahwa pertemanan kita lebih dari sekadar itu.
Kalian bahkan siap menopangku, mendoakanku siang malam lewat doa-doa rahasia yang menjaga diriku.
Namun...
Kotak itu, dia sudah seribu hari bersamaku. Mungkin aku sudah terbiasa dengannya.
'Kamu benar akan selamanya bersamanya?'
Mungkin kalian akan bertanya-tanya.
'Kamu tidak layak di dalam sana terus.'
Sama seperti kalian, aku pun bertanya-tanya. Akan sampai kapan? Tidakkah aku ingin menghirup udara yang lebih segar di luar sana?
Aku akan menunggu diriku siap, memulai dengan caraku. Mengetuk kotak kacaku dengan palu, memaksanya retak di seluruh bagian lalu mendorongnya satu-satu.
Menyampaikan pada semua kawan bahwa yang kalian lihat bukan aku yang sebenarnya, dan menceritakan siapa aku kini.
Lalu menunggu, setiap ada yang menyambutku dengan tangan terbuka, itu berarti membantuku melepas satu bagian dari retakan kotak kacaku.
Cara ini lambat, bukan? karena bagian yang retak bukan hanya satu dua.
Iya, tapi ini cara yang aku mampu.
Lalu, di depan sana datang lagi. Seseorang yang mulai 'menilaiku' tanpa berusaha bertanya dahulu. Aku akan berusaha mencari pecahan kaca yang kemarin telah jatuh dan mulai merekatkannya lagi.
Begitu terus, berulang hingga entah kapan.
Mungkin aku harus menemui banyak orang (lagi), mungkin aku harus memakai palu yang lebih besar lagi. Atau mungkin aku harus punya tangan yang tidak mudah gemetar.
Mungkin aku harus mencari tempat dan waktu yang tepat, agar aku bisa teriak lebih kencang sehingga kotakku akan pecah dengan sendirinya tanpa kusadari.
Atau mungkin akan ada sepasang tangan kokoh yang menghancurkan kotakku dengan sengaja dari luar. Menarikku dengan lembut, tetapi setengah memaksa.
Lalu berkata, mari melangkah bersama.
Semoga saja.
Komentar
Posting Komentar