Khadija yang Dicinta

Sosok Khadija bukan tanpa alasan menjadi sosok yang begitu didamba. Padahal sebelumnya sosok Aisyah justru terlihat begitu sempurna, setidaknya bagiku.

Menuliskan nama Aisyah disandingkan dengan namaku, adalah doa agar kelak aku bisa seperti dirinya. Sholehah dan cerdas, juga harapan romantisme pernikahan seperti yang dipunya Aisyah dan Muhammad.

Namun, setelah menikah, dan aku diprediksi hamil anak perempuan, entah mengapa aku lebih menyukai nama Khadija.

Aku tak hendak membandingkan keduanya, karena itu jelas bukan hal bijaksana. Keduanya adalah orang yang paling dicintai Nabi kita, the best man in the world.

Ini hanya murni pendapat pribadi saja, semoga semakin semangat untuk meneladani sifat-sifat mulia dari kedua ummahatul mukminiin ini.

Nama Khadija disematkan pada nama anak perempuanku, sudah semenjak aku tahu bahwa dia berjenis kelamin perempuan.

Mengapa disematkan dengan sifat Shaabira : memperkuat kesabaran? Mengapa bukan Syakira?

Begini lho, biasanya kan sabar itu identik dengan kesusahan ya, dan syukur identik dengan kebahagiaan. Khadija saat itu adalah seorang pengusaha wanita sukses, yang uangnya banyak.

Seharusnya, yang uangnya banyak berarti bahagia, kan?

Yang kubayangkan, bagaimana seorang wanita yang sukses, yang punya banyak harta, yang keluarganya terpandang tiba-tiba menikahi Muhammad.

Nggak tiba-tiba juga sih, jelas melewati proses seleksi dan pengenalan lebih dekat dengan bantuan seorang karyawan Khadija, Maisarah.

Namun, kenapa harus Muhammad? Kenapa bukan dengan seorang pengusaha kaya lainnya? Kenapa bukan dengan seseorang yang kelihatannya akan membawanya pada kehidupan yang sesuai latar belakangnya?

Padahal Khadija sudah tahu sejak awal bahwa jalan yang dipilihnya ketika menikahi Muhammad tidak akan mudah. Muhammad kala itu memiliki perangai yang berbeda dengan orang kebanyakan. Memang awalnya, dipandang terpercaya karena akhlaknya, tetapi tiba-tiba dimusuhi karena ajakannya untuk menyembah Allah saja.

Aku belajar dari kisah Khadija bahwa harta memang layak dicari tetapi tidak dibawa mati. Harta bisa membuat orang terpandang di mata manusia, tetapi di mata Allah, harta adalah cobaan saja.

Dan bagi Khadija, hidayah jauh lebih berharga daripada banyaknya harta.

Khadija yang kubayangkan adalah seorang wanita yang sama, yang juga punya keinginan terhadap hal-hal yang indah. Namun, ia memilih untuk tidak menuruti semua keinginannya kendati pun ia mampu.

Rasanya, ketika aku berniaga dan mendapat untung tak seberapa saja langsung dibuatlah wishlist-nya. Apa yang kira-kira akan dibeli dengan uang laba ini?

Namun, Khadija tidak. Belum masuk pada logikaku seseorang yang menyerahkan semua harta yang dimilikinya untuk kemajuan dakwah yang dilakukan suaminya.

Menukar harta dengan surga. Berniaga dengan Sang Mahakaya.

Khadija, yang terus bersabar untuk tetap menomorsatukan Allah di atas segala-galanya.

Maka ketika, ada fase kehidupan lain yang menderaku, aku ingin bisa bersabar seperti Khadija. Menahan diri walaupun bisa melakukan yang diinginkan.

Ya, aku bisa saja menuruti nafsuku. Mengungkapkan semua perasaan agar semua orang tahu siapa yang melakukan apa.

Ya, aku bisa saja mengikuti ego dan meluapkan rasaku. Lalu, apa? Bukankah sama saja membuka aibku sendiri?

Maka aku mencoba untuk terus memperkuat kesabaran, hingga Allah tunjukkan jalan. Jalan yang terlihat tidak menyenangkan bagi sebagian orang, tetapi menurut Allah ini yang terbaik untukku.

Bersabar saja, seperti Khadija, mengikat taat pada kondisi terlemah sekalipun. Berharap Dia akan berikan yang terindah di waktu yang tepat.

Seperti saat Khadija diberi salam oleh malaikat dan Rabb-nya. Tiada dua, hanya dia saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

re arrange