Ketika Abang (Akhirnya) Sekolah

"Bang, Abang sekolah di Hayat, ya," pintaku padanya sesaat sebelum kami melakukan rutinitas sebelum tidur.

"Abang mau coba aja, Bun. Bukan sekolah," jawabnya singkat, kemudian mengelak ketika kucoba mendorongnya untuk menjawab iya pada pilihanku.

***
Siapa yang menyangka bahwa aku akhirnya mengalami fase hidup seperti itu? Mendatangi sekolah untuk survey, mempertimbangkan biaya, mengikuti trial untuk melihat tanggapan Abang.

Kupikir selamanya aku bisa mendampingi proses belajar Abang secara langsung. Aku sudah tergabung dalam komunitas homeschooling sejak anak-anak masih batita. Bagaimana mendampingi anak tumbuh sambil mencatat tiap potensi yang muncul.

Aku mencatat bahwa bakat create Abang tinggi. Anak ini perlu difasilitasi dengan beragam media agar ia bisa membuat sesuatu yang baru. Kardus, botol plastik, lakban, lego, jepitan baju, gantungan baju bisa ia gunakan untuk membuat hal-hal baru yang bahkan tidak terpikirkan olehku.

Abang belajar baca dengan cara yang ia pilih sendiri, dan bisa melihatnya menyukai membaca papan penjelasan di taman kota atau papan petunjuk di tempat-tempat yang kami datangi seperti berkaca pada diri puluhan tahun silam.

Abang juga sudah mulai bisa berhitung, sudah bisa menulis walau kadang arah huruf dari kanan ke kiri.

Jika kemudian belajar anak selalu difokuskan pada proses 'calistung', kami masih bisa melewatinya dengan cara kami saja.

Dan, kupikir sepertinya Abang tidak perlu masuk sekolah formal.

Bahkan ketika orang lain pusing mencarikan sekolah untuk anaknya, terbentur sistem zonasi dan kurangnya usia. Aku malah sibuk mencari info soal kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan Abang sebagai pengisi waktu hs-nya.

Tidak lagi merasa bingung menjawab pertanyaan orang soal di mana sekolah Abang, karena sepertinya homeschooling kami akan terus berlanjut di usia sekolah.

Hingga akhirnya...

Kami berada pada kondisi yang unik. Tidak pelik, aku sudah menentukan, dan merasa sudah menimbang berbagai pilihan.

Bang, sebagai Bunda, aku tahu aku nggak bisa maksa Abang sekolah, nggak bisa bilang hayuk atuh Bang sekolah biar bisa belajar banyak hal, karena aku tahu setiap hari Abang melakukannya di mana pun Abang berada.

Tapi kini aku merasa ada di satu titik, di mana aku merasa zalim sama amanah-amanah yang ada.

Kegiatan Abang yang nggak terjadwal dengan baik, padahal keteraturan adalah fitrah. Juga kewajiban-kewajiban sekolah yang sedang butuh perhatian ekstra akhir-akhir ini.

Kalau Abang sekolah aja, gimana?

Ngebayangin obrolan ini aja bikin nangis.

Bukan, aku nggak ngerasa gagal karena akhirnya 'menyerah' pada sekolah. Juga nggak merasa bersalah karena nggak mampu mengatur urusan dengan lebih rapih.

Aku ngerasa 'memaksa' Abang masuk ke dalam zona baru yang menurutku lebih baik untuk kami semua.
***
Pilihan yang paling menenangkan adalah bersekolah di sekolah semi formal di bilangan Ujung Berung, sebut saja Hayat Schole.

Sudah mendaftar, lalu kemudian galau. Belum menyerahkan persyaratan apa pun, juga belum menyempatkan datang lagi. Aktor utamanya masih menggeleng dan hanya ingin mencoba sekolah, bukan sekolah beneran.

Tinggal sepekan lagi sebelum waktu sekolah formal kebanyakan anak mulai. Dan Bunda masih berusaha membujuk Abang agar keputusan untuk sekolah adalah keputusan sadar kami, bukan hanya keputusan Bunda.

Ya, kami baru sampai di situ. Di persimpangan lalu melangkah satu kali ke depan. Jangan paksa kami berlari, kami sedang belajar untuk mengerti bahwa ini adalah hal besar.

Membiarkan Abang belajar tanpa Bunda selama 5 jam saja, lalu kemudian melepas rindu sambil makan es krim di hari Rabu.

Menitipkan mimpi pada para fasilitator di sana, sambil menekankan adab bahwa kami (bunda dan abang) siap diarahkan menjadi lebih baik.

Doakan kami ya...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

Day 2 : Tema Blog yang Paling Disukai