Cinta Diam-Diam

"Apa indahnya cinta dalam diam, Ping? Kamu tidak mau memastikan perasaannya?" tegas orang di depan Pingkan. Pingkan baru saja menceritakan tentang lelaki yang membuatnya selalu merona ketika mereka berpapasan.

Pingkan menatap Mega lama, sahabatnya itu sejak dulu selalu begitu. Tidak suka dengan ketidakpastian, apalagi jika ada sangkut pautnya dengan perasaan.

"Tapi, kamu tau kan kalau kami akhir-akhir ini jarang sekali bertegur sapa?" tanya Pingkan lemah.

"Ya, tapi kan kamu yang bilang sendiri bahwa perhatiannya padamu terasa istimewa."

Pingkan terdiam, sebenarnya ia memang merasa demikian.

Meski bibir ini tak berkata, bukan berarti ku tak merasa, ada yang berbeda di antara kita.

Dan tak mungkin ku melewatkanmu hanya karena diriku tak mampu untuk bicara, bahwa aku inginkan kau ada di hidupku.
______
"Ping, apa kabar?"

Pingkan sangat hafal suara itu, hanya orang-orang terdekatnya saja yang sering memanggilnya dengan sebutan itu.

Ken, Kendra Resmawan. Lelaki yang selalu ada dalam lamunan Pingkan.

"Baik." Pingkan sengaja hanya menjawab pertanyaan Ken sependek mungkin, mencoba menyamarkan suaranya yang bergetar karena sulit meredam perasaannya.

"Tumben kamu ke kantin sini, kamu tidak sengaja ke sini untuk mencariku, kan?" ujarnya lagi dengan nada menggoda.

Pingkan memanyunkan bibirnya. Mereka memang jarang bertemu, tetapi di setiap pertemuan selalu saja begitu. Pingkan merasa bebas berekspresi, bebas menjadi dirinya sendiri.

Setidaknya sampai suatu masa, ketika ia akhirnya merasa boleh berharap lebih dari sekadar teman melepas lelah dan ia menjadi lebih menjaga image-nya menjadi perempuan yang lebih anggun.

"Aku traktir minum ya, aku butuh masukan nih soal masalahku," pintanya lagi.

Pingkan memandang sekeliling, memastikan sesuatu kemudian mengangguk.
___

"Dia meminta pendapatku, Meg. Salah ya kalau aku jadi semakin berharap padanya?" tanya Pingkan basa-basi. Dia sudah tahu jawabannya.

"Jadi?" Mega sengaja membiarkan Pingkan yang menjawab sendiri pertanyaannya.

"Aku perempuan, Meg. Rasanya tidak pantas jika aku..." Pingkan memandangi wajah sahabatnya itu seolah meminta belas kasihan karena tidak bisa menentukan sikap.

"Mau menunggu berapa lama?" tanya Mega cepat.

"Kamu menolak tawaran dariku untuk membantumu, mencari info tentang pribadi Ken, juga tentang kesiapannya untuk menikah," tegas Mega lagi.

"Aku sungguh tidak mengerti. Apa yang kamu harapkan dari hubungan yang tidak jelas macam ini, Pingkan sholihah?" ujar Mega sambil menarik ujung kerudung Pingkan hingga menutupi sebagian wajahnya.

Pingkan langsung merapikan kembali kerudungnya tanpa perlu melihat cermin. Walaupun belum terlalu lama ia menggunakan kerudung syar'i macam ini, ia sudah lihai memakai kerudung dengan bahan apa pun.

Pikirannya mengembara entah kemana. Ia tidak bisa menjawab atau membantah kata-kata yang diucapkan Mega. Semuanya benar, justru itu yang membuatnya semakin bingung.

Kata Mega, tidak ada yang salah dengan perasaannya. Cinta kepada lawan jenis adalah fitrah manusia. Namun, ia tidak boleh diekspresikan dengan cara yang salah, cara yang bukan seharusnya.

Dan Kendra adalah bukan siapa-siapanya.

Gawainya bergetar.

'Terima kasih atas waktumu tadi siang, Ping. It means a lot'

Dari Ken.
____

Pingkan sudah membulatkan tekad, ia sudah menentukan akan seperti apa ia bersikap. Mungkin akan ada yang berubah setelah apa yang akan ia lakukan, tetapi Pingkan sudah siap menanggung resikonya.

Pingkan memang belum siap menikah, ia hanya ingin terus berada di sisi orang yang ia sukai. Dan Pingkan tahu betul bahwa itu salah.

Mengubur rasa dalam-dalam hanya akan membuat hatinya sakit. Apalagi kemungkinan cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Namun Kendra juga tidak mungkin menawarkan pernikahan dalam waktu dekat.

'Ken, bolehkah aku bertanya tentang sesuatu yang personal?'

Pesan terkirim.

#TantanganForsen_10

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

Day 2 : Tema Blog yang Paling Disukai