Bercerita Tentang Neng

Seorang anak perempuan tampak memegang dua bonekanya dan duduk di boncengan motor. Tangannya repot memilih, berpegangan pada pengendara motor alias ibunya atau memegang erat kedua boneka.
___

Namanya Shaabira. Lahir di awal hari dan mewarnai hariku dengan 'keperempuanannya'. Membuat hariku sebagai ibu berubah dan banyak berkaca diri.

Matanya bulat dan bulu matanya lentik sempurna, beberapa tantenya iri karena Shaabira tidak perlu memakai alat pelentik bulu mata.

Anak ini sangat perempuan sekali, tidak seperti ibunya (if you know what i mean). Mendengar caranya membujuk setiap malam agar dibelikan pernak-pernik perempuan terasa menggelikan. Belum lagi ketika ia mulai memanggilku dengan panggilan berbeda setiap kalinya.

Bunda, boleh nggak Ade beli bando?
Umma, tas kelinci kayak Rara bagus ya?
Mama, Ade teh butuh kunciran yang banyak.

Oke, fine.

Tutur katanya sangat keibuan, dikelilingi dengan kakak dan para adik sepupu laki-laki, Shaabira kecil 'terbiasa' mengasuh mereka.

Bang, kan udah Ade bilang, makanannya dihabisin dulu.
Mar, jangan lari-lari ya, nanti kepeleset.
Sini dede bayi Althaff dipangku sama Aka.

Para tante hanya akan tertawa karena tingkah Shaabira yang overprotective pada adik-adiknya. Dan mereka memanggilnya 'mamak'.

Fitrahnya sebagai anak perempuan masih terjaga dengan baik, itulah mengapa tugasku sebagai Bunda terasa lebih ringan.

Dikelilingi tante yang doyan dandan, dia terkadang meminta bundanya juga untuk melakukan hal yang sama. Sayangnya, bujukannya kurang berhasil.

De, ade teh sudah cantik lho tanpa dandan, lagian perempuan nggak boleh dandan kalau keluar rumah, kalau di rumah boleh.

Jangan bayangkan pembicaraan di atas dilakukan oleh seorang ibu dan gadis remajanya. Itu terjadi antara ibu dan anak perempuannya yang baru berusia 4 tahun, dan semenjak saat itu ia selalu mengulang petuah yang sama kepada para tantenya.

Fitrah perempuan yang lain adalah tentang pakaian yang menutup aurat. Aku tahu bagi sebagian orang tua yang memiliki anak perempuan, ada yang memakaikan kerudung sejak bayi. Aku berbeda.

Kupikir memakai jilbab/kerudung memang wajib bagi perempuan yang sudah baligh. Dan anak perempuanku jelas masih jauh dari waktu balighnya. Ia boleh memilih untuk memakai kerudung atau tidak. Tanpa paksaan.

Bukannya aku tidak ingin membiasakan kewajiban yang satu itu, tetapi banyak sekali orang tua yang beranggapan bahwa kalau pergi pakai kerudung biar nggak masuk angin atau biar nggak dingin. Aku ingin Shaabira-ku tidak begitu, ia memakai kerudung karena Allah minta ia begitu, bukan karena alasan yang lainnya.

Maka ketika ada orang lain yang menanyakan mana kerudungnya, dia bisa menjawab, Ade kan masih kecil, masih boleh nggak pakai kerudung.

Shaabira cantik punya kemampuan bicara yang sangat baik. Berbicara sangat jelas dan lantang, tetapi entah mengapa kemampuan ini tiba-tiba menghilang ketika ia berada dalam kelompok belajarnya di sekolah.

Tiba-tiba saja, mulutnya terkunci rapat.

De, ade teh kenapa kalau di sekolah ade nggak mau ngomong?
Ade teh lagi pura-pura, jawabnya cuek.

Ade ini anak dengan tipe belajar auditori. Sangat mampu menyerap apa yang dia dengar. Bukan sekali dua kali anak ini justru melafalkan surat-surat pendek dalam Al-Quran yang sedang dihafalkan oleh Abang.

Peluang besar untuk aku sebagai pengajar utamanya untuk terus melafalkan surat-surat pendek. Terakhir kami menghafal surat At-Tiin bersama.

Suatu kali ia bertanya, Bun kenapa sih Bunda udah bisa baca surat itu dan ade belom?

Apakah anaknya punya bakat dan minat dalam menghafal? Hm, sepertinya masih butuh banyak observasi dan pendampingan sampai benar-benar terlihat jelas mana hal yang membuatnya terua berbinar saat melakukannya.

Sampai saat ini, ketika ditanya apa yang jadi cita-citanya, jawabannya masih sama: perawat bayi dan pelukis.

Apalagi ya?

Jangan ditanya lebih sayang Abang atau Neng ya, karena jawabannya i love them both.

#TantanganForsen_4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

Day 2 : Tema Blog yang Paling Disukai