Single Fighter

        Aku selalu berhenti pada kalimat 'saatnya menyamakan pandangan bersama pasangan'. Aku selalu menatap kosong pada kursi di sebelahku, sedangkan dia yang di sana selalu berdiri menyelisihi pilihanku. Aku tidak bisa memaksanya pergi karena ia memang punya hak untuk dihormati, dihargai bahkan dicintai oleh anak-anakku. Ia ayah dari anak-anakku.
        Lalu, aku merasa kebingungan untuk memulai lagi. Aku, harus memulai dari mana?
       Aku tahu mungkin sudah salah langkah dari awal, tetapi kami sudah melaju sejauh ini. Ada dua permata hati yang menanti bimbinganku menjalani fitrahnya. Ada hati yang harus selalu dijaga ketimbang harus meladeni perasaan marah yang sampai kini masih sering hinggap di hati.
       Dia, bukan hanya menolak untuk ikut serta dalam pengasuhan, tetapi berniat menyelisihi. Apakah kau tahu perbedaan keduanya?
       Jika hanya menolak, maka aku punya kuasa sepenuhnya. Bebas menentukan akan melangkah kemana.  Dia tidak begitu. Dia selalu ada di sekitarku, menjegal kakiku ketika ku mulai melangkah, lalu aku harus memaksa diri bangkit kembali.
      Dia menyelisihiku.
      Mengambil pilihan yang berbeda denganku. Dengan sengaja. Entah apa maksudnya.
      Aku pikir, setelah saat itu, ia tidak akan lagi bisa menyakitiku. Nyatanya, aku masih harus terus berjuang. Berjuang memberi pemahaman baik pada anak-anak bahwa hal yang dilakukannya tidak baik atau tidak perlu ditiru.
        Ini berat, Jenderal. Lebih mudah menjelek-jelekkan namanya di hadapan anak-anak, lalu anak-anak akan membencinya.
        Namun, bukan itu. Aku berharap anak-anak tetap punya figur itu. Lelaki hebat yang akan selalu melindungi mereka sampai akhir. Lelaki yang patut diandalkan.
       Aku masih harus berjuang ketika ia dengan sengaja atau tidak, melupakan kesepakatan-kesepakatan yang telah kami buat tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Aku harus meminta maaf pada pihak yang dirugikan, memberikan penjelasan pada anak-anak bahwa membatalkan janji adalah sesuatu yang tidak layak dilakukan tanpa alasan yang logis, mengantar anak-anak untuk menepati janjinya.
        Mungkin dia ingin aku marah, mendebatnya, tetapi itu membuang-buang waktuku. Aku malah ingin sekali menunjukkan padanya bahwa aku punya Tempat Bergantung Yang Mahakuat sehingga aku tidak perlu berharap pada hamba yang lemah.
       Aku tahu sekali peran posisinya dalam pengasuhan. Aku tahu sekuat atau sedalam apapun pengetahuanku tentang teori parenting, tidak akan bisa menutupi kepincangan yang terjadi dalam ikhtiarku. Aku tahu suatu saat nanti, aku akan melihat imbasnya.
       Kami yang tak pernah bisa bersepakat. Kami yang punya pandangan berbeda soal hidup. Ah, Rabbiy, aku ingin sekali bisa meneriakkan apa yang telah ia lakukan pada kami.
      Aku tidak akan pernah melupakan kisah itu, ketika aku melihatnya asyik berbincang di ruang tamu kami setelah sebelumnya aku meminta bantuannya. Bantuan sederhana menurutku.
      Aku membawa dua anak mengantuk sore hari, dan kami tidak mendapatkan taksi yang mau membawa kami pulang dengan alasan daerah rumah kami adalah daerah macet.
      Aku masih ingat supir angkot yang akhirnya berbaik hati mau mengantar kami sampai rumah. Aku masih ingat bagaimana aku memeluk kedua anakku dalam hujan, hingga mereka tertidur. Aku masih ingat menggendong mereka bergantian melewati kedua orang itu yang terkejut melihat kami datang.
      Saat itu aku merasa, kami, tidak seberharga itu untuk ditolong. Kami bukan prioritas.
      Saat itu aku sadar bahwa selamanya aku akan berjuang sendirian. Dengan atau tanpanya.
      Kini, aku berjanji tidak akan menangisi kursi kosong di sebelahku lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

re arrange