Wanita di Depan ATM
Apa tulisan yang paling sering
tertulis di pintu ATM?
Yang teringat adalah larangan untuk
memberitahu pin apabila terdapat kesulitan selama proses transaksi di ATM,
bahkan kepada petugas keamanan sekalipun. Alasannya jelas demi keamanan uang
pribadi kita.
Suatu ketika, aku hendak mampir ke bank
konvensional di dekat rumahku. Di sini, selalu ramai nasabah sehingga antrian di
kasir bank bisa mencapai belasan bahkan puluhan. Untuk meminimalisir antrian,
dibuatlah atm setor tunai di depan bank.
Sama seperti siang itu, melihat
antrian mengular akupun memilih menggunakan ATM setor tunai saja.
Begitu masuk pintu ruangan ATM,
tampak seorang ibu dan anak kecil sedang berdiri di depan ATM, tetapi tidak
melakukan transaksi. Wajahnya agak kebingungan.
Tiba-tiba saja, di hatiku ada rasa
tidak enak. Curiga dan waspada. Bergegas aku menuju ATM yang kosong dan langsung
menyelesaikan transaksiku.
Benar saja, baru saja aku berbalik.
Kulihat ibu itu memandang ke arahku lalu menyetop langkahku.
“Mba, boleh minta tolong?” pintanya.
Perasaanku menjadi semakin tidak
menentu, takut dirampok atau takut dihipnotis, padahal isi ATM-ku tidak
seberapa. Tapi, tidak mungkin aku mengacuhkannya.
“Ada apa, Mba?” aku bertanya balik.
Bila ia butuh bantuan soal kartu atau
salah PIN, aku sudah bersiap untuk memanggilkan satpam di depan bank karena itu
bukan wewenangku.
“Boleh saya minta tolong transfer
uang?”suaranya terdengar memelas. Sebenarnya perasaan was-was itu masih ada,
namun secara refleks aku malah bertanya jumlah yang ia butuhkan.
“15.000, Mba. Saldo di tabungan saya
tinggal 35.000, padahal saya harus mentransfer uang untuk ibu yang ada di rumah
sakit,”jelasnya lagi.
Aku tersenyum lalu kembali menuju ATM
lagi, “Berapa nomor rekeningnya, Mba?” tanyaku sesudah memasukkan nomor PIN
ATM. Lalu ia menyebutkannya sambil kuketik di layar.
“Sudah, Mba,” jawabku sambil hendak
pergi. Tetapi, ia menahan tanganku. Jantungku berdegup keras lagi, aku merapal
surat-surat untuk memohon perlindungan. Aku pernah mendengar bahwa hipnotis
bisa terjadi lewat sentuhan di bahu.
“Mba, saya belum minta nomor rekening
Mba untuk mentransfer balik uang Mba yang saya pinjam. Boleh saya catat, Mba?”
ujarnya sambil mengeluarkan gawainya untuk mencatat.
Aku tersenyum lalu menggeleng.
“Tidak perlu, Mba. Senang bisa
menolong,”jawabku cepat sambil berlalu. Ia kelihatan tidak enak namun berulang
kali mengucap terima kasih.
Jumlahnya belum cukup, Mba, untuk
meminta maaf atas rasa buruk sangka yang sempat ada di benakku. Maafkan saya,
ya, Mba, ujarku dalam hati.
Komentar
Posting Komentar