Skenario Pertama


Aku menatap wajah suamiku. Mengerutkan kening. Mencoba mempertanyakan apa yang sedang terjadi sekarang. Suamiku hanya mengangguk seolah memintaku untuk mengikuti saja rencana yang telah ia buat.
            Rencana apa sebenarnya ini? Pagi tadi belasan kru televisi memasuki rumah kami. Memasang kamera-kamera di berbagai tempat. Memintaku dan suami memakai baju kami yang paling jelek, lalu mengarahkan kami untuk mengikuti skenario yang mereka siapkan.
            Belum sempat aku mengajak ngobrol suamiku, kamera sudah mulai menyorot kami. Suamiku tampak seperti aktor sejati, ia mengikuti skenario dengan baik. Membukakan pintu host dari acara tersebut, berlagak terharu ketika ternyata maksud kedatangan host tersebut adalah untuk membedah rumah kami secara gratis.
            Untungnya aku tidak harus berkata apa-apa. Walaupun jengkel aku terpaksa mengikuti seluruh skenarionya sampai selesai.
***
            “Bu, Apa Ibu tidak bahagia?” tanya suamiku sehari setelah itu.
            Aku masih murung sejak kejadian kemarin. Campuran antara bingung, kesal dan marah yang belum tahu harus dikeluarkan dengan cara seperti apa.
            “Ibu lihat rumah kita sekarang, lantainya sudah bukan lagi tegel. Dapurnya bahkan sudah tidak beralas tanah. Anak-anak sekarang bisa nonton televisi, Bu, tidak perlu lagi merengek-rengek untuk meminta menonton di rumah tetangga. Beberapa orang yang sebelumnya memandang jijik rumah kita, sekarang mereka bahkan ingin berfoto di depan rumah kita, Bu.”terangnya panjang lebar, seolah hendak meyakinkanku bahwa yang terjadi pada kehidupan kami adalah suatu hal yang baik, yang patut disyukuri.
            Aku mendengus keras.
            “Pak, mengapa Bapak tidak meminta pendapatku dulu sebelum mengambil keputusan ini?”tanyaku.
            Suamiku melihat ke arahku, “Karena Bapak tahu, Ibu pasti tidak akan setuju.”
            “Bapak tahu, kan, mengapa Ibu tidak akan setuju?”tanyaku memastikan.
Ia mengangguk lesu, lalu menarik telapak tanganku dan menggenggamnya erat.
            “Maafkan Bapak, Bu. Bapak sudah kehabisan cara untuk bisa membahagiakan Ibu. Bapak kira, Ibu akan jauh lebih bahagia bila Bapak bisa membetulkan rumah kita yang lebih mirip kandang hewan ternak kemarin.”ujarnya sambil tergugu.
            Salahku. Aku menggenggam balik tangannya. Mencoba memahami bahwa niat suamiku baik.
***
            Beberapa kali tawaran dari beberapa program sosial datang ke rumah kami, ingin membedah rumah, ingin memberi uang yang harus dihabiskan dalam waktu sekian jam, ingin menyorot kehidupan kami di rumah gubuk kami. Selalu kami tolak.
            Orang miskin yang sombong, mungkin begitu pikir mereka.
            Aku bersikeras pada suamiku bahwa aku tidak suka kemiskinan kami didramatisasi. Benar rumah kami memang beralas tanah, beberapa kali kami menemukan kelabang di dalam rumah, tetapi hal itu tidak terlalu mengganggu kami.
            Seringkali anak-anak pulang dengan menangis karena diejek oleh teman bermainnya. Anak domba, anak kambing. Itulah sebutan yang membuat mereka menangis. Dengan tampilan rumah kami yang reyot, mungkin memang lebih pantas digunakan sebagai kandang, bukan rumah. Akan tetapi, kami merasa cukup bahagia.
            Bila memang ingin menolong, bukankah lebih baik jika caranya lebih sederhana saja. Berikan diam-diam, tanpa perlu syarat apapun. Ataukah kemiskinan kami, memang hal yang mereka cari untuk meraih simpati?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

re arrange

Pertemuan kembali

Day 2 : Tema Blog yang Paling Disukai