Sarapan Ala Fitri

Fitri membungkus sendiri nasi uduk, telur dadar iris dan tempe orek buatannya sesudah salat Subuh. Hanya jadi dua belas bungkus, meleset dari perkiraannya sebanyak lima belas bungkus. Namun Fitri tidak patah semangat, dua belas bungkus pertama ini akan selalu ia ingat selamanya.
Berawal dari pengalamannya yang selalu saja tidak sempat menyiapkan sarapan sebelum ke kampus. Ia akan menahan lapar sampai jam kuliah usai, kalau hanya satu mata kuliah, mungkin agak mendingan. Tapi, bila harus dua mata kuliah, maka nyanyian dalam perut akan lebih mirip seperti teriakan demonstran saat aksi protes di gedung pemerintahan.
Fitri sadar bahwa kemampuan masaknya terbatas, maka ia hanya punya satu orang yang ia pikir bisa membantu niatnya ini. Ibunya. Sayangnya, ternyata ibunya tidak mendukung.
Fitri masih ingat ketika ibunya meremehkan keinginannya itu. Ibunya bilang, dengan budget yang ia miliki, apa yang ia lakukan akan menjadi sia-sia belaka. Fitri pun sadar, budgetnya sangat terbatas. Tetapi, jika harus menunggu budgetnya cukup, ia tidak tahu kapan harus memulai.
Ia ingat sekali tausiyah yang ia dengar di masjid kampus beberapa waktu lalu. Setiap orang di dunia sedang berlomba untuk melakukan amalan terbaiknya. Amalan yang hanya orang tersebut yang mampu melakukannya. Berkali-kali Fitri memilih amalan lain, namun masih terlalu sulit untuk didawamkan.
Amalan yang ini, ia yakin sekali bisa menjadi amal andalannya. 
Ia mengambil nampan di dapur, lalu meletakkan dua belas bungkus nasi uduk di atasnya. Sambil menyelipkan selembar kertas bertuliskan ‘sarapan gratis, siapa saja boleh ambil’, lalu membawanya keluar rumah.
Ia sudah menyiapkan sebuah kursi di depan pagar rumahnya sebagai tempat meletakkan nampan nasi bungkus tadi.
Rumahnya terletak di dalam gang, kost-an mahasiswa bertebaran di sekeliling rumahnya, ia yakin, akan banyak mahasiswa yang melewati rumahnya dan mengambil sarapan gratis yang sudah ia siapkan.
Ia masuk kembali ke dalam rumah untuk pamit pada ibunya lalu berangkat menuju kampus.
***
Hari ini hanya ada satu mata kuliah. Fitri pun bergegas pulang setelah merapihkan buku catatannya. Ia penasaran dengan nasib nasi bungkus di depan rumahnya.
Apakah sudah habis? Apakah ada yang mengambil nasi bungkusnya?
***
Dari kejauhan, Fitri masih melihat ada bungkusan nasi di atas nampan. Masih tersisa tiga bungkus lagi.
Fitri mengambil nampannya, lalu melangkah ke dalam rumahnya dengan perasaan sedih.
Selepas mengucap salam. “Bu, ibu,” panggil Fitri di depan kamar ibunya.
“Nasi bungkusnya sisa tiga, Bu,”keluh Fitri lagi.
Ibu tersenyum.
“Tadi pagi, ibu sengaja menunggu di teras rumah, Teh. Penasaran juga ibu dengan nasib nasi bungkusmu. Beberapa orang melewatinya tanpa melihat ke arah nampan,” mulai Ibu, “Tapi, Teh, orang-orang sesudahnya melihat, lalu mengambil satu,” lanjut ibu senang.
Ibu lalu menceritakan dengan lengkap. Ada yang memastikan pada ibu apakah benar nasi bungkusnya gratis. Ada yang minta izin untuk mengambil dua karena ingin membawakan temannya juga. Ada juga yang malah meminjam sendok dari rumah ibu dan makan di teras rumah.
Kali ini, ibu tampak antusias sekali. Kalimat penutup ibu membuat Fitri bahagia sekali. “Untuk nasi bungkus selanjutnya, boleh ya ibu ikut menyumbang agar jumlahnya lebih banyak. Biar ibu yang masak nasi dan lauknya, kamu tinggal membungkusnya saja,” ujar Ibu. Fitri tersenyum sambil memeluk ibunya. Ia bahkan tidak bersedih lagi karena kali ini nasi bungkusnya tidak habis.
***
Fitri tidak membagikan sarapan gratis setiap hari. Ia hanya membagikannya sepekan sekali, setiap hari Jumat. Alasannya, karena biayanya baru bisa terkumpul setiap pekan.
Namun, jumlahnya setiap pekan semakin bertambah. Selain ibunya, kini bapak dan adik-adiknya juga ikut menyumbang. Mulai dari 12, 20, 30 dan setelah dua bulan, kini ia bisa membagikan 50 nasi bungkus tiap pekannya. Tempat pembagiannya pun kini dibagi dua, yang pertama, masih di depan pagar rumahnya dan satu lagi di depan gang rumah. Alasannya, jalanan di luar sana lebih ramai yang lewat.
Sampai suatu hari, Fitri kembali berjalan pulang dari kampus karena ada salah satu tugasnya yang tertinggal. Ia melihat seorang anak yang membawa kantong plastik besar dan mengambil banyak sekali nasi bungkus dari atas nampannya.
Anak tersebut langsung berlari menjauh ketika melihat Fitri berjalan ke arahnya. Fitri mengingat-ngingat wajah anak tersebut, tapi nampaknya anak itu bukan warga di sekitar sini.
Namun ia tidak berusaha mengejar anak itu, ia harus segera ke rumah dan bergegas pergi ke kampus lagi.
***
Sorenya, Fitri merasa perlu melaporkan kejadian yang ia alami tadi pagi.
“Bu, tadi pagi Fitri lihat ada anak kecil yang ambil banyak nasi bungkus kita, lho,” kata Fitri.
“Oh, kamu udah lihat juga.”
Aku memandang ibu, jadi ibu sudah pernah melihat anak itu juga.
“Pekan kemarin Ibu juga melihatnya melakukan hal yang sama di depan rumah kita. Tadinya Ibu ingin menegur, tapi khawatir salah. Mungkin dia ingin membagikannya pada teman-temannya, kita husnuzhon saja, ya, Teh,” ajak Ibu.
“Bagaimana kalau ternyata dia mengambil sarapan gratis ini untuk dijual kembali, Bu? Kan rugi kita.”
Ibu tertawa. “Dari awal kan memang kita tidak cari untung materi, kan, Teh? Yang menjadi wilayah kita adalah memperbaiki niat kita setiap hari, terus memperbagus amal,” nasihat Ibu, “soal bagaimana orang lain ‘memanfaatkan’ amal baik kita, itu jadi urusannya dengan Allah, bukan dengan kita,” sambung ibu lagi.
Fitri mengangguk-angguk tanda mengerti. Amalan andalannya hampir saja terkotori oleh prasangka buruk yang melintas.
***
Ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan pekan depan. Ia akan menyiapkan satu kantong plastik khusus untuk diambil sang anak, sebagai tanda perkenalannya juga sebagai tanda bahwa ia sudah mengikhlaskan nasi bungkusnya, jadi jika bertemu di kemudian hari, ia tidak perlu lari lagi.                                                                                                                       


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

re arrange