Sakit itu Masih Ada
"Nduk, alamat
lengkapmu di mana? Bapak sudah sampai stasiun, rumahmu jauh dari stasiun?”
suara Bapak terdengar di sambungan telepon. Bapak, entah kapan terakhir aku
bercakap-cakap dengan beliau.
Semenjak aku
pindah keluar kota, kami putus kontak. Lebih tepatnya, aku memutuskan kontak
dengan beliau. Hatiku masih tidak terima dengan perkataannya kepadaku.
“Bapak tidak
perlu kesini.”
Akhirnya
kalimat itu yang keluar.
Lalu hening.
Bapak dan aku sama-sama terdiam, tidak tahu lagi bagaimana harus melanjutkan
pembicaraan ini. Namun tidak ada satupun dari kami yang menyudahi pembicaraan
ini.
“Bapak boleh
kan, mengunjungi rumah barumu. Menengok cucu Bapak yang baru lahir,” bujuknya
lagi.
“Maafkan
Ratih, Pak. Tapi Ratih tidak tahu alamat rumah baru ini, juga tidak bisa
mengirim orang untuk menjemput Bapak. Sebaiknya Bapak pulang ke rumah ibu.”
Sambungan
telepon kuputus. Aku tahu ini tidak sopan, tetapi aku sudah tidak mampu menahan
air mata juga amarah.
Untuk apa,
untuk apa bapak menghubungiku lagi setelah kata-katanya. Untuk apa berdalih
ingin menengok cucu. Bukankah bapak tidak suka padaku, bukankah bapak yang
mendorongku untuk segera keluar dari rumah ibu.
***
“Bu, bolehkah
Ratih merenovasi rumah Ibu? Mas Taufan dapat rezeki lebih, Bu. Ratih ingin
membuatkan kamar untuk adik-adik, sehingga tidak sungkan kalau Mas Taufan di
rumah,” usulku pada ibu sore itu.
Aku anak
tertua di keluargaku. Adik-adikku masih ada yang kuliah dan sekolah. Setelah
menikah, aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah ibu. Bukan karena suamiku,
Mas Taufan tidak mampu mengontrakkan rumah untuk tempat tinggal kami, tetapi
lebih karena ingin bisa membantu ibu yang sudah pensiunan.
Mata ibu
tampak berbinar mendengar usulanku.
“Apa tidak
apa-apa, Nduk? Uangnya bisa kamu belikan rumah baru untuk keluargamu sendiri,”
usul Ibu.
“Tidak apa-apa,
Bu. Mas Taufan juga yang mengusulkan ini. Mas Taufan kan masih harus dinas
keluar kota bulan-bulan ini, ia lebih tenang jika Ratih tetap tinggal di rumah
Ibu,” terangku,
Ibu
mengangguk.
Proses
renovasi pun berjalan sebulan kemudian.
Rumah ibu yang
sebelumnya satu lantai, kini dipugar menjadi dua lantai, lengkap dengan tempat
jemuran di bagian depan. Adik-adik yang sebelumnya hanya tinggal di satu kamar
sekarang bisa memiliki kamar sendiri-sendiri di lantai atas. Kamar ibu-bapak
juga menjadi kamar utama di lantai atas, sedangkan kamar nenek ada di lantai
satu agar nenek tidak harus naik turun tangga.
Aku sengaja memilih
kamar di bawah agar Mas Taufan lebih leluasa ketika berada di rumah. Tidak
perlu berpapasan kegiatan dengan adik-adikku yang notabene perempuan semua.
Mas Taufan pun
mengusulkan agar ada satu bagian rumah di bawah yang dibuat menjadi tempat
usaha untuk pemasukan harianku, juga kontrakan supaya bisa jadi pemasukan
bulanan untuk ibu.
Kupikir semua
orang bahagia dengan renovasi ini. Semua tampak berjalan lebih baik dari
sebelumnya. Sampai hari itu...
***
Aku melihat
Bapak, Ibu, juga Ratna, adik bungsuku terlibat pembicaraan serius di ruang keluarga. Ibu memanggilku ke kamar agar
bergabung dengan obrolan mereka. Aku bertanya-tanya, ada apa gerangan sampai
semalam ini aku dibangunkan dari tidur.
Alhamdulillah,
ketiga anakku sudah tertidur pulas karena asyik bermain seharian dengan ayahnya.
Mas Taufan pulang selama akhir pekan kemarin dan baru pergi dinas lagi tadi
sore.
“Ada apa, Bu,
Pak?” tanyaku mencoba memecah keheningan. Aku memberi isyarat pada Ratna agar
ia mau memberitahuku apa yang sedang terjadi, namun ia malah mengalihkan
pandangannya dariku.
“Tih, Bapak
dan Ibumu sedang butuh banyak uang untuk sekolah Ratna,” mulai ibu, “Uang
tabungan kami belum cukup,”Ibu terlihat menoleh ke arah Bapak sebelum
melanjutkan ucapannya.
“Bolehkah kami
menggadaikan sertifikat rumah ini dulu,”pinta Ibu dengan suara lemah.
Aku mendesah.
“Bu, ini kan
rumah ibu, jadi ibu berhak melakukan apa saja, tidak perlu minta izin Ratih
segala,”jawabku.
“Tuh, kan, apa
kubilang, Bu,” timpal Bapak.
“Dari tadi
kami membahas kepemilikan rumah ini, Mba. Setelah proses renovasi rumah
beberapa tahun yang lalu, belum jelas kan apakah status rumah ini sudah
berganti pemilik atau belum,” sambung Ratna.
Ibu terlihat
mencegah Ratna melanjutkan perkataannya.
“Bapak pikir
rumah ini sudah berganti pemilik. Mba kan sudah membayar banyak untuk rumah
ini, setelah itu pun Mba terlihat seperti tuan rumah di sini, mengatur
pengeluaran ini itu. Melupakan Bapak sebagai kepala keluarga dan menganggap Mas
Taufan yang berhak memutuskan segala yang berkaitan dengan rumah,” lanjut Ratna
panjang.
Aku menatap
Bapak, memastikan bahwa apa yang kudengar dari Ratna adalah benar adanya.
“Memang begitu
kan, itu kan niatmu membetulkan rumah ini. Supaya rumah ini jadi milikmu,”
tegas Bapak.
“Bapak picik,”
teriakku sambil masuk ke kamar.
Aku langsung
menelpon Mas Taufan, memintanya segera mengajak kami ke tempat dinasnya di luar
kota. Tadi sebelum pergi beliau sudah bercerita akan kemungkinan mutasi
beberapa bulan ke depan, aku memaksanya meminta mempercepat proses mutasi untuk
kepindahan kami.
***
Itu lima tahun
yang lalu.
Anakku masih
tiga, sekarang sudah ada dua lainnya. Yang bungsu baru saja lahir beberapa
pekan kemarin.
Selama itu aku
tidak pernah mengunjungi mereka, menelpon pun hanya seperlunya.
Tiba-tiba
Bapak menelpon. Mengajakku berbaikankah?
Aku menolak
lupa. Belum sekarang, entah sampai kapan. Orang lain bisa saja berburuk sangka
padaku dan mungkin aku tidak peduli. Ini, bapakku sendiri..
Aku meneteskan
air mata, mencoba menghilangkan sesak di dada.
Ternyata
sakitnya belum hilang.
Komentar
Posting Komentar