Rizki, Murid yang Istimewa
Namanya Rizki.
Anak ini memiliki postur yang lebih kecil dari teman-teman sekelasnya. Rizki
selalu duduk di bangku paling depan, dekat meja guru. Alasannya, agar ia lebih
mudah untuk dipantau.
Perkenalkan,
namaku Junaedi. Wali kelas 4, bertanggung jawab untuk mengajar Rizki dan 19
anak lainnya dalam satu kelas.
Rizki memiliki
catatan merah dalam pelajaran Matematika. Ia belum bisa perkalian. Sama sekali.
Ia hanya hafal beberapa perkalian dengan angka serupa. Dua kali dua sama dengan
empat, tiga kali tiga sama dengan sembilan, hingga angka enam.
Kepala sekolah
sudah mewanti-wanti agar aku menyiapkan metode yang paling efektif untuk
mengajarkan Rizki pelajaran Matematika. Teman-temannya sudah bisa semua di
kelas sebelumnya. Bila tidak bisa perkalian, ada kemungkinan Rizki tidak bisa
naik kelas, dan itu akan membuat citra sekolah menjadi buruk.
Hari pertama
berkenalan, Rizki nampak sama dengan anak-anak yang lain. Ia anak yang periang.
Aktif dalam pelajaran olahraga, terlebih sepak bola. Ia juga pandai membaca
puisi, semua anak di kelas akan memberi applause
tanda kekaguman akan kebisaan Rizki.
Tiba saat yang
ditunggu-tunggu, pelajaran Matematika.
Benar saja,
Rizki tampak kebingungan menyelesaikan soal perkalian. Akhirnya, setelah kelas
berakhir aku memintanya tidak pulang dulu. Ada yang harus kami bicarakan.
Pertama,
tentang perasaannya terhadap pelajaran matematika. Ternyata, Rizki merasa takut setiap ada
pelajaran ini, rasa takut ini bahkan muncul saat Rizki harus menyiapkan buku
pelajaran matematika. Nilainya tidak pernah baik di kelas sebelumnya. Orangtuanya
memaksanya agar belajar lebih giat lagi bahkan sedikit mengancam bila Rizki
mendapat nilai kecil lagi di kelas 4 ini, ia akan dipindahkan dari sekolah ke
pesantren yang jauh dari rumah.
Kedua, apa
yang diharapkannya ketika belajar di kelas ini. Rizki berkata dengan suara
lemah, ia ingin bisa perkalian. Ia ingin bisa membuat orang tuanya bangga.
Aku
meyakinkannya bahwa dengan usaha yang kuat diiringi doa, kami pasti bisa.
Insyaa Allah.
Malamnya, aku
mencari cara yang paling mudah agar Rizki bisa perkalian. Cara sederhana tapi
seharusnya efektif untuk anak yang bahkan tidak bisa perkalian sama sekali.
Aku mengajari
Rizki cara ini.
Misal 2 x 6,
maka Rizki kuminta membuat dua garis sebanyak enam kali. Lalu Rizki akan
menghitung jumlah total garis yang ia buat. Dua belas, 12. Wajahnya menunjukkan
ekspresi bahagia karena bisa menyelesaikan soal pertama.
Lanjut ke soal
kedua, ketiga. Aku melihat wajahnya semakin berseri. Waktunya akan lebih lama,
tapi dengan cara ini. Rizki akan memahami konsep perkalian, bukan hanya sekedar
hafal.
Saat waktu
istirahat tiba dan teman-teman lain sudah menyelesaikan kegiatannya di kelas.
Rizki masih saja asyik menghitung soal-soal perkalian yang kuberikan. Terdengar
suara teman-teman yang meremehkan caranya berhitung.
Cara yang
terlalu lama. Cara yang merepotkan. Meragukan bahwa cara ini akan membawa Rizki
menuju kesuksesan.
Kulihat Rizki
tidak mempedulikan mereka dan masih asyik berhitung. Aku hanya memandanginya
dari jauh, tidak mau mengganggu konsentrasinya.
Hari ujian
tiba. Aku melihat Rizki tampak tenang-tenang saja. Apakah hanya aku saja yang
tampak gelisah menghadapi ujian, apakah nilainya akan baik? Apakah ia akan mengerjakan
soal dengan percaya diri?
Aku hanya bisa
berdoa.
Di hari
pembagian rapot, aku malah datang terlambat karena ada kecelakaan di jalan. Aku
meminta guru pendamping kelas yang menggantikan tugasku untuk sementara.
Kulihat Rizki
dan kedua orangtuanya menungguku di gerbang sekolah.
Orangtuanya
menyalamiku, mengucapkan banyak terima kasih. Rizki bahkan memelukku,
mengucapkan terima kasih karena hari ini ia sangat menyukai matematika dan
tertantang untuk menyelesaikan soal yang lebih sulit lagi. Nilainya memang
bukan nilai tertinggi di kelas, tapi mungkin ini adalah nilai tertinggi yang
pernah ia dapatkan dengan sungguh-sungguh.
Padahal, ini
bukan jerih payahku, kan? Ini terjadi karena jerih payah Rizki dan kemudahan
yang Allah berikan. Aku hanya washilah
perantara kemudahan itu.
Namanya Rizki.
Ia adalah murid yang berbeda kini. Murid yang terlihat lebih optimis dan percaya
diri. Wajar kan apabila seorang guru sepertiku sangat bahagia melihat
keberhasilan muridnya?
Komentar
Posting Komentar