Ramadan terakhirku

          Aku diminta menulis tentang hal-hal yang akan kulakukan jika Ramadan ini adalah Ramadan terakhirku sebagai seorang ibu.
Aku menarik nafas sebentar sebelum akhirnya mencoba memulai merangkai kata. Judul yang berat, bukan. Kebiasaan memperhatikan, keinginan untuk terus menemani anak sampai ujung waktu, tersadarkan hanya oleh satu kalimat.

Jika ini Ramadan terakhirku, maka aku ingin anak-anakku...

Siapa yang bisa menjamin bahwa tahun depan akan ada lagi hari-hari persiapan Ramadan bersama si kecil? Tidak ada. Bisa jadi aku atau dia yang berpulang duluan. Lalu tiba-tiba mata ini basah lagi.

Aku memandangi wajah ananda yang terlelap di samping, mencoba mencari hal yang paling kuinginkan atas mereka kelak.

***

Dearest kiddos,

Jika ini Ramadan terakhirku, aku ingin kalian sudah merasakan bahwa aku mencintai kalian dengan sebenar-benar cinta. Aku suka mendengar celotehan kalian tentang apapun. Aku suka melihat kalian dari pagi hingga malam.

Iya, ada benarnya aku kelelahan, kiddos. Lalu bentuk ‘cintaku’ akan menjadi agak menakutkan. Aku marah, berteriak dan kalian takut. Mungkin bentuknya tidak selalu indah, tetapi percayalah kiddos. Ini cinta.

Aku akan kesulitan bila menjalani hidup tanpa kalian. Kebingungan harus apa tanpa ada rengekan yang kuanggap bentuk negosiasi kalian. Hidup yang lebih ‘tenang’ memang, tetapi bukan hidup yang menyenangkan.

Jika ini Ramadan terakhirku, aku berharap kita sudah sama-sama kuat pondasi aqidahnya. Tidak saling menangisi kepergian terlalu lama, menganggap ini hanyalah perpisahan sementara, karena sejatinya tempat berkumpul abadi kami bukan di sini.

Aqidah yang kuat menjadikan kita tahu kepada siapa harus meminta, kepada siapa boleh takut dan kepada siapa harus menggantungkan harap. Hanya pada Dia.

Pondasi aqidah ini akan jadi penjaga kalian agar tidak tergerus zaman, terbawa pergaulan yang salah, karena yakin ada Dia Yang selalu Mengawasi.

Jika ini Ramadan terakhirku, aku ingin kalian sudah mandiri. Sudah bisa makan, mandi dan ke toilet sendiri. Bisa mengurus keperluannya sendiri, sehingga tidak merepotkan orang lain yang ada di rumah.

Mandiri, bukan berarti tidak membutuhkan orang lain. Tetapi hidup tidak menjadi beban, justru menjadi kebanggaan siapapun yang ada di sekitar.

Jika ini Ramadan terakhirku, semoga semua hal baik yang pernah kita lakukan bersama, sudah menjadi kebiasaan yang akan kalian dawamkan. Menjadi mudah diamalkan bahkan tanpa ada aku. Doa panjang sebelum tidur, meminta penjagaan Allah. Memaksa tetap berkata baik ketika marah.

Mungkin tidak banyak, hanya beberapa saja. Sedikit tapi istiqomah, semoga bisa menjadi amalan istimewa kita yang membuat Dia memperhatikan kita.

Jika ini Ramadan terakhirku, semoga kalian mau memaafkan aku. Banyaknya hal buruk yang kulakukan adalah khilafku sebagai hamba. Tidak layak ditiru, tidak layak jadi panutan. Semoga kalian mau menerimaku sebagai ibu biasa yang tak luput dari dosa.

Aku memohon ampun atas hal-hal buruk yang kulakukan. Semoga tidak menjadi bukti bahwa alasan kalian melakukannya karena melihatku melakukannya juga.

Jika ini Ramadan terakhirku, semoga aku sudah memaksakan diriku menjadi sebaik-baik hamba, sebaik-baik ibu. Semoga kita selalu terhubung lewat doa, hingga kelak akan berjumpa lagi. Nanti, di jannah-Nya insyaa Allah.

***

Kulipat surat yang isinya membuat penghujung Ramadanku menjadi lebih melankolis. Tulisan singkat, tapi membuatku berbenah. Tak ada yang tahu siapa yang akan berpulang duluan. Bisa jadi aku, bisa jadi mereka.

Siapapun itu, semoga kami husnul khotimah. Bisa menjadi hamba yang mengisi Ramadhan dengan penuh cinta. Bisa mengakhiri hidup kami dengan sebaik-baik amal. Bisa pulang dengan kondisi terbaik.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

re arrange

Pertemuan kembali

Day 2 : Tema Blog yang Paling Disukai