Pilihan Hidup
Di lorong kecil di sebelah pasar, tampak seorang laki-laki muda berjalan buru-buru. Di tangannya tampak kantong plastik berwarna hitam, ia memegang erat plastik tersebut. Isi plastiknya sangat spesial, nasi padang dengan lauk rendang kesukaan adiknya. Kali ini ia yakin adiknya akan menerima makanan ini, tidak seperti sebelum-sebelumnya.
Sudah sepekan sejak kejadian itu, adiknya menolak menerima uang darinya. Menolak makanan yang ia bawa sebagai oleh-oleh sepulang kerja. Adiknya mogok makan. Benar-benar tidak makan sama sekali. Hanya air putih saja. Laki-laki itu tahu bahwa ini bentuk protes adiknya atas pilihan yang ia ambil. Tapi ia belum menemukan solusi yang lebih baik, sampai siang tadi.
***
Laki-laki itu bersiap-siap untuk berangkat. Pakaiannya semi formal, kemeja panjang dipadu dengan celana kain, jaket kulit dipakai pula untuk menghangatkan tubuhnya di atas motor.
Laki-laki itu bersiap-siap untuk berangkat. Pakaiannya semi formal, kemeja panjang dipadu dengan celana kain, jaket kulit dipakai pula untuk menghangatkan tubuhnya di atas motor.
Ini hari pertamanya dengan pekerjaan barunya. Wajar saja jika ia gugup, kan?
Setelah dipecat dari tempat sebelumnya, ia kesulitan mencari pekerjaan baru. Sepekan penuh ia hanya berkeliling sambil mencoret lowongan pekerjaan di koran yang sudah ia lingkari sebelumnya, tidak ada yang menerimanya sebagai karyawan.
Tak ada pilihan lain, ia akhirnya memilih melakukan pekerjaan ini. Pekerjaan yang ditawarkan oleh kenalannya ketika tahu bahwa ia dipecat. Pekerjaan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Adik perempuannya, yang belum mengetahui pekerjaan barunya, sedang menyiapkan teh manis panas dan pisang goreng untuk sarapan.
"Kak, hari ini sudah mulai kerja? Jadinya kerja di mana, Kak?" tanyanya bersusulan.
Laki-laki itu hanya tersenyum, "Alhamdulillah, Dik. Ada teman Kakak yang mengajak Kakak kerja di tempatnya. Dapat bagian lapangan, Dik," terangnya.
"Alhamdulillah, aku tetap bisa berangkat ke sekolah bareng Kakak?" tanya adiknya lagi.
Kali ini ia menggeleng sedih, "Maaf ya, Dik. Untuk hari ini belum bisa," jawabnya.
Hari ini, ia dijadwalkan untuk mengikuti temannya bekerja agar ia mengetahui cara kerjanya seperti apa.
Setelahnya, ia akan 'dilepas' di wilayah yang ditentukan oleh kantornya.
***
Pekerjaannya ternyata cukup mudah. Ia hanya berkeliling membagikan brosur kepada ibu-ibu yang sedang berkumpul.
***
Pekerjaannya ternyata cukup mudah. Ia hanya berkeliling membagikan brosur kepada ibu-ibu yang sedang berkumpul.
Di wilayah padat penduduk, ibu-ibu setiap pagi akan berkumpul di masjid atau PAUD sambil menunggu anaknya sekolah.
Mengobrol ngalor-ngidul soal apa saja, tetangga sebelah yang beli televisi baru, soal orang tua murid yang sudah hamil lagi padahal baru melahirkan enam bulan lalu. Calon pelanggan yang empuk, kata seniornya.
Benar saja, baru membagikan beberapa jam ke sekolah-sekolah di wilayahnya, sudah ada delapan ibu menghubunginya. Menyatakan bersedia mengikuti program yang ditawarkannya.
Ia adalah seorang rentenir berseragam. Program yang ditawarkannya adalah program pinjaman tanpa jaminan. Cukup fotokopi identitas saja. Bunganya besar, bila dihitung secara keseluruhan. Namun karena cicilan bisa dilakukan harian, pekanan, maka para ibu ini malah merasa terbantu dengan programnya.
Ia bukannya tidak tahu bahwa riba ini haram, apalagi banyak ibu-ibu yang kesulitan membayar sehingga dendanya akan semakin besar lagi.
Sebelumnya, ia menghindari berhubungan dengan rentenir, sesulit apapun hidupnya. Siapa sangka ternyata itu menjadi profesi untuk menyambung hidupnya.
***
Sudah tiga bulan ia menjalani profesi ini. Setiap bulan gajinya lumayan, belum lagi bonus setiap tambahan pelanggan baru tiap bulannya.
***
Sudah tiga bulan ia menjalani profesi ini. Setiap bulan gajinya lumayan, belum lagi bonus setiap tambahan pelanggan baru tiap bulannya.
Programnya ini laris manis di tengah himpitan ekonomi yang terjadi sekarang. Pilihan yang seharusnya jadi pilihan terakhir, malah dianggap solusi utama sekarang. Ibu yang tidak bisa membayar cicilan harian akan meminta anaknya meminjam dengan nama lain. Hutang yang satu dibayar dengan berhutang dengan nama lain. Terus saja berulang, gali lubang tutup lubang.
Hingga akhirnya, adiknya melihat laki-laki itu ketika sedang bekerja.
Ia sedang menagih seorang buruh cuci yang sudah tak mampu membayar selama sepuluh hari. Buruh cuci itu menangis meminta perpanjangan waktu lagi, namun laki-laki itu dengan tegas menolak. Marah-marah sambil memukul-mukul pintu rumah sang buruh cuci.
Laki-laki itu terkejut melihat adiknya ada di depannya. Menyorotkan rasa kecewa bercampur marah, lalu pergi meninggalkannya.
Laki-laki itu tahu, sorot mata kecewa dari orang yang paling ia sayangi hanyalah awal dari hukuman yang layak ia terima karena mengambil jalan yang salah.
***
"Dik, ini...makan dulu," ujar laki-laki itu.
Ia membujuk adiknya agar keluar dari kamar.
***
"Dik, ini...makan dulu," ujar laki-laki itu.
Ia membujuk adiknya agar keluar dari kamar.
Ia menunggu di luar kamar, menunggu. Ia tahu adiknya tidak tidur.
"Maafkan Kakak, ya. Pilihanku memang tidak benar, tapi aku melakukan ini untukmu. Kalau kamu kecewa, untuk apa. Aku sudah berhenti," terangnya lagi.
Belum ada tanda-tanda adiknya akan keluar.
"Kakak bawa nasi rendang kesukaanmu. Bukan dari hasil kerja Kakak selama ini, uangnya kakak pinjam dari teman," pintanya lagi.
Ia mulai khawatir. Jangan-jangan adiknya pingsan.
Namun akhirnya pintu dibuka.
"Kakak benar sudah berhenti kerja?" tanya suara itu.
"Kakak benar sudah berhenti kerja?" tanya suara itu.
Lelaki itu hanya mengangguk. Mengisahkan keresahan hatinya tiap bekerja, namun memaksa diri karena merasa tidak ada pilihan.
Kali ini, seluruh uang gajinya sudah ia wakafkan untuk pembangunan toilet di masjid dekat rumahnya. Itu cara paling baik membersihkan harta riba, ia mendengarnya ketika tak sengaja melewati masjid. Wakaf sarana publik.
Lelaki itu memilih, memulai dari nol lagi. Bukan hanya agar adiknya senang, tapi karena ingin hidup tenang.
Semoga.
Komentar
Posting Komentar