Pelajaran Sore

           Ting..ting..ting..
Suaranya khas sekali. Bunyi dentingan sendok berpadu dengan mangkok berlogo ayam jago. Suara ini akan selalu kami dengar setiap sore, menjelang maghrib. Suara tukang bubur sumsum langganan kami, menandakan dagangannya masih ada.
Kami yang sedang berkumpul di lantai dua rumah kami biasanya akan berteriak dari atas, lalu berlari menyusuri tangga mengejar gerobaknya.
Sepertinya ia selalu lewat ke rumah kami di akhir jualannya, karena kami akan memborong habis bubur sum-sum yang tersisa. Uniknya, hampir di setiap pembelian yang kami lakukan, tukang ini akan memberikan bonus kerak bubur yang ada di dasar panci, khusus untuk ibu kami.
Sore itu, aku baru saja memarkirkan kendaraanku ke dalam garasi rumah. Tukang bubur sumsum ini pun lewat di depan rumah kami, lalu menawarkan dagangannya.
Dalam hati teringat batagor dan cireng yang sudah kami beli untuk hidangan berbuka nanti. Sepertinya kami tidak perlu tambahan makanan lagi.
“Hayuk, Neng. Penghabisan,”tawarnya lagi.
Mau tidak mau aku melangkahkan kaki ke arah gerobaknya.
“Sisa apa, Mang?”tanyaku basa-basi.
“Masih komplit, Neng,”ujarnya sambil tertawa.
“Saya pesan dua bungkus ya, Mang, campur,”pesanku.
Ada yang belum pernah beli bubur sumsum? Isinya adalah bubur dari tepung beras dan santan, diguyur saus gula merah. Sebagai tambahan, ada kolak pisang dan candil ubi. Bisa memilih membeli kolak saja, candil saja atau bisa juga sepertiku, campur semuanya.
“Neng, kemarin yang beli banyak teh, Neng, bukan?”tanyanya, “Yang waktu tinggal lima bungkus lagi?”
Aku menggeleng. Aku tidak terlalu suka bubur sumsum, sehingga aku tidak pernah membeli bubur sumsum secara langsung, biasanya adik-adikku yang beli.
“Oh, berarti neng yang satu lagi ya?”
Mungkin maksudnya adikku, usia kami hanya terpaut setahun, jadi perawakan kami mirip.
“Pas beli kemarin itu, Neng itu bayarnya kelebihan, lebih lima ribu rupiah. Saya yang lupa, Neng. Sebelumnya, neng kasih selembar lima ribuan. Pas ditanya berapa jumlah yang harus dibayar, saya bilang 25.000.”
“Maaf ya, Neng. Saya baru ingat di jalan pulang, jadi saya niatin, nanti pas Neng belanja bubur lagi baru saya kembalikan. Jadi sekarang, Neng bayar lima ribu saja, ya.”
Aku mengeluarkan selembar uang lima ribuan dan langsung menyerahkan padanya.
Setelah berpamitan, tukang bubur sumsum itu pun pergi. Aku masih saja memandangi punggungnya hingga hilang di belokan ujung jalan.
Apa yang menjadi alasan tukang bubur itu merasa perlu ‘mengakui’ kelebihan uang pembayarannya? Adikku mungkin sudah lupa, juga sudah mengikhlaskannya tanpa perlu diminta. Tapi, uang yang tidak jelas kehalalannya memang tidak bisa membuat pemiliknya merasa tenang. Jumlahnya mungkin tidak seberapa, tetapi bisa menjadi pengganjal keberkahan rezekinya.
Aku tersenyum, merasa senang dan terhormat mendapat pelajaran yang berharga sore ini.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

re arrange

Pertemuan kembali

Day 2 : Tema Blog yang Paling Disukai