Lelaki di Putaran Thawaf
Rini mengelap keringatnya dengan kerudung. Ia melihat ke atas langit kemudian
memperkirakan kira-kira berapa derajat suhu siang ini. Mungkin sekitar 40
derajat celcius. Di tempat yang sama, semua orang sedang melafalkan zikir dalam
putaran thawaf. Sama-sama kepanasan, kehausan dan juga banjir keringat seperti
dirinya.
Mungkin ia salah memilih waktu untuk
melakukan ritual umroh, pikirnya. Biasanya ia akan memilih waktu sore
menuju malam atau bahkan malam hari. Memisahkan diri dari rombongan karena merasa
akan lebih khidmat melakukannya sendirian. Ia tidak merasa takut nyasar karena ia
sudah beberapa kali mengunjungi Baitullah.
Namun
tadi pagi, teman sekamarnya, Farida, mengajaknya untuk umroh lagi. Umroh kedua.
Sebagai orang yang sulit untuk menolak permintaan orang lain, ia pun mengiyakan
ajakan Farida. Sedari pagi mereka sudah bersiap menuju Tan’im untuk mengambil
miqot dan berniat ihram lagi.
Mereka
baru masuk kembali ke komplek Masjidil Haram tepat ketika adzan zuhur berkumandang.
And, here is she. Di bawah terik
matahari, dihimpit jutaan orang dengan aroma khas kain bercampur keringat.
Dengan posturnya yang standar orang asia, letak hidungnya setara dengan ketiak
orang-orang Arab kebanyakan. Sempurna
sudah penderitaannya.
Rini
mengucap istighfar, berusaha tetap fokus dengan ritual ibadahnya. Di
sampingnya, Farida terlihat khusyu membaca doa di buku panduan umroh yang
tergantung di lehernya. Ia merasa heran dengan Farida yang seolah tidak merasa
terganggu dengan cuaca panas ini.
Tenggorokan
Rini sudah kering, ia tidak lagi melafalkan zikirnya dengan lantang. Bahkan di
beberapa putaran pun ia memilih membacanya dalam hati saja.
Pada
putaran kelima, ia melihat ada seorang lelaki tinggi yang berdiri menghadap ke
arahnya. Rini merasa keheranan, mengapa orang itu salah arah. Arah thawaf
harusnya berlawanan dengan arah jarum jam. Namun semakin lama Rini melangkah,
ternyata orang itu tidak bergerak mendekat. Dia hanya diam di depan sana.
Hal aneh apalagi ini, begitu pikirnya
lagi.
Di
umroh pertamanya kemarin, ia menyaksikan petugas berseragam menarik seseorang
dari barisan ber-abaya dan bercadar. Dihempaskannya orang itu tepat di depan
Rini. Ternyata ia seorang lelaki yang menyamar, orang ini memohon-mohon agar
tidak dihukum. Rini tidak tahu kelanjutannya karena ia harus melanjutkan
putaran thawafnya, meninggalkan laki-laki itu yang sukses menarik perhatian
banyak orang.
Sosok
laki-laki itu semakin jelas. Kali ini Rini bisa melihat bahwa laki-laki itu
membawa sesuatu di kedua tangannya, dua benda yang sangat dia kenali. Jeriken
dua liter dan tumpukan gelas.
Astaghfirullah,
Rini mengucapkan kalimat itu lagi. Ia telah berpikir yang tidak-tidak.
Ketika
mereka berpapasan, Rini mengambil gelas yang sudah penuh air kemudian
meminumnya dengan cepat. Tenggorokannya yang kering segera terbasahi oleh
aliran air zam-zam dingin yang diberikan lelaki itu.
Rini
sungguh merasa malu dengan apa yang sedari tadi ada dalam pikirannya. Keluhan,
prasangka, padahal ia sedang melakukan ritual utama dalam ibadah umrohnya. Ia
merasa malu kepada laki-laki tadi yang memanfaatkan cuaca panas sebagai peluang
untuk beramal baik.
Di
putaran selanjutnya, Rini mencari sosok itu lagi, namun sudah tidak ada di
tempat semula. Mungkin sedang mengisi air dalam jeriken kosong yang tadi
dibawanya atau mungkin pindah ke tempat lain untuk membantu jamaah yang lain.
Walau
hanya sebentar, pertemuannya dengan lelaki itu membuat Rini terkesan. Ia
berjanji dalam hatinya, dalam suasana sesulit apapun, ia akan mencari peluang kebaikan
yang bisa dilakukan dan bukan hanya merutuki keadaan.
Wah mba, suka nulis cerita ya. Hebat. Suka kebawa baper ga sih klo nulis cerita yang kita bikin sendiri?
BalasHapus