Kisah Hidup Tara
"Bu, apakah kita akan terus begini?”ujar Tara pada ibunya.
“Begini
bagaimana maksudmu?”ibunya yang diajak bicara malah balik bertanya dengan nada
sinis.
Tara
terdiam mendengar pertanyaan ibunya. Selalu begini. Setiap kali Tara mengungkit
bagaimana cara keluarganya melanjutkan hidup setiap harinya, ibunya selalu
tersulut emosinya. Mulai bertanya dengan nada sinis, mengingatkan statusnya
yang sebagai anak yatim yang tidak boleh merasa sombong, lalu mengajaknya
bersyukur dengan rezeki yang Allah berikan.
Tara
selalu bersyukur atas hidupnya. Siapa yang sangka, seorang janda yang tidak
punya pekerjaan tetap bisa menyekolahkan anaknya sampai kuliah? Jika bukan
karena izin Allah, semua ini terasa mustahil.
Tapi
Tara tidak suka cara ibunya. Ibunya selalu menganggap status yatim begitu
berharga. Status ini membuat ibunya merasa bahwa Tara berhak selalu disantuni
dan ditolong orang, tetapi ini membuat Tara merasa selalu dikasihani.
Tara
tidak suka dikasihani.
***
“Bu,
bolehkah Tara memulai bisnis sambil kuliah?” tanya Tara pagi itu. Sebenarnya
Tara sudah memulai bisnisnya. Bisnis cemilan dan makanan kekinian. Bisnis yang
cukup mudah bagi mahasiswa sepertinya. Pembelinya kebanyakan teman-teman
sekelasnya. Sudah berjalan satu bulan, hasilnya lumayan, Tara sudah mulai
menabung untuk biaya kuliahnya semester depan.
“Bisnis
apa? Jangan ngaco kamu, Tara. Anak kuliahan mau bisnis apa? Apa hasilnya? Yang
ada hanya capek saja,”cela ibunya, “Kamu fokus saja kuliah, biar Ibu yang cari
uang untuk kamu.”
“Ibu
mau buka warung di rumah? Uang dari Pak Haji Dahlan masih belum Tara pakai, Bu,”tawar
Tara pada ibunya.
Ibu
memandang Tara dengan tatapan tidak suka, Tara menunduk. Tidak mau dianggap
membantah ibunya.
***
“Kenapa
lagi, Neng?”tanya Zahra ketika melihatku cemberut di kantin sekolah. Zahra
adalah sahabat Tara, teman sekelas, teman nebeng pulang, teman curhat dan
banyak lagi.
“Ibu?”tembak
Zahra lagi. Tara balik menatapnya. Zahra selalu bisa tahu bahwa hal yang bisa
membuat Tara bersedih adalah jika ia punya masalah dengan ibunya. Tara
mengangguk lagi.
“Umurku
18 tahun, Ra. Ayahku memang sudah meninggal sejak aku SD, tetapi bukan berarti
aku harus terus dibantu, kan?”tanyanya basa-basi, ia tidak butuh jawaban, hanya
ingin didengarkan dan dibenarkan.
“Ibu
bilang aku sombong. Tapi, aku merasa benar. Kamu tidak tahu bagaimana cara para
dermawan itu menatapku, mereka bahkan secara terang-terangan berani memintaku
menjadi istri keduanya.”
“Belum
lagi omongan Bude No dan Bulik Mia setiap kali aku datang ke rumah mereka.
Mereka bilang, sampai kapan aku dan ibuku akan terus seperti ini. Ibu selalu
saja berdalih bahwa anak yatim harus disantuni.”
Teringat
lagi ibu bahkan sempat marah-marah dan menuding jilbab bulik Mia hanya kedok
saja, berjilbab kok tidak mau mencontoh Nabi. Kata ibu, Nabi saja begitu sayang
pada anak yatim, ini ada anak yatim di depan mata malah dihinakan.
Tanpa
sadar Tara menangis. Zahra menepuk-nepuk bahunya, mencoba menenangkan
sahabatnya. Zahra tahu bahwa Tara adalah anak yang mandiri, bahkan sejak awal
kuliah, sekalipun tidak punya uang untuk ongkos pulang, Tara tidak pernah
meminta tolong pada siapapun. Zahra pernah melihatnya masih berjalan di
trotoar, padahal jaraknya sudah lebih dari 7km dari kampus.
Zahra akhirnya
memaksa agar Tara selalu pulang bersamanya, sebagai teman ngobrol ketika macet,
kilahnya. Menolak uang bensin yang selalu diselipkan di tangan Zahra setiap
awal bulan, mengembalikannya sebagai bayaran teman ngobrol.
Mungkin
sejak saat itu mereka jadi bertambah dekat.
***
Ibu sedari
pagi sudah meminta Tara bersiap-siap, juga memintanya membantu adiknya. Hari
ini awal bulan, saatnya Tara berkeliling meminta santunan.
Tara tidak
menolak untuk berpakaian rapi, tetapi ia tidak akan lagi menuruti kemauan
ibunya. Tara sudah berpikir matang-matang. Ini saatnya.
“Ayo,
Tara, Sony kita berangkat sekarang,”ajak ibu yang juga sudah berpakaian rapih.
Tara tidak
bergerak dari tempat duduknya di ruang tamu.
“Tara
tidak mau pergi, Bu,”ujar Tara tegas.
Ibu
menoleh ke belakang, menghentikan aktivitasnya yang sedang menutup hordeng
jendela depan rumah.
“Mulai
lagi. Ayo!”sekarang ibu mulai menarik tangannya.
Tara
menepis tangan ibunya, ia tahu ini tidak sopan. Tapi, ia tidak punya pilihan
lain.
“Tara
sudah punya tabungan yang cukup, Bu, untuk kuliah dan biaya harian Tara. Bisnis
yang Tara rintis berkembang, Zahra mengajak Tara bekerja sama dan memberi
modal. Kita sudah bisa berdiri sendiri, Bu. Tidak perlu terus mengemis-ngemis
meminta bantuan orang.”
Plong
rasanya ketika Tara sudah mengatakan itu semua pada ibunya. Semua perkataannya
benar, Zahra mengajak Tara untuk mengembangkan bisnisnya sekaligus
mempraktekkan ilmu yang didapatnya di kampus. Sebuah kedai kecil tempat
mahasiswa bisa nongkrong atau sekedar mencari ‘wifi’.
Zahra yang
banyak menyokong modalnya, namun ia yang mengelola manajemennya karena Zahra
merasa itu bukan passion-nya. Sudah
terbayang di benak Tara suatu saat akan mengajak ibunya ke kedai miliknya.
Namun
ternyata, tanggapan ibunya tidak sesuai dengan harapan Tara. Ibunya tetap pergi
sambil menarik tangan Sony, adik Tara. Ibunya melengos pergi seolah-olah tidak
mendengarkan apa yang sudah Tara sampaikan.
Tara
memandang punggung ibunya dengan hati perih.
Komentar
Posting Komentar