Kisah di Meja Bu Kasih
Bu Kasih, admin sekolah, meminta berbicara empat mata kepadaku. Sebagai kepala
sekolah, aku sibuk menerka, apa gerangan yang akan ia bicarakan denganku.
Aku
menemuinya di ruangannya. Ia terlihat agak murung, seolah berita yang ingin
disampaikannya adalah berita yang kurang menyenangkan.
Benar
saja.
“Bu
Fat, saya menyerah,” mulainya.
“Menyerah?
Menyerah kenapa?”tanyaku cepat, seingatku tidak ada hal berkaitan dengan
administrasi yang harus diselesaikan segera.
Ia
menghela nafas sebelum menyebutkan satu nama. Mama Marina.
Marina
adalah anak didik di sekolah kami. Semua kakaknya adalah alumni sekolah ini,
setiap tahun selalu mengajukan permohonan beasiswa. Sebenarnya kami tidak bisa
menyetujui permohonan beasiswanya. Ayahnya bekerja, ibunya pun memiliki usaha
rumahan yang bisa dibilang tidak pernah sepi.
Namun,
ibunya sudah melengkapi persyaratan administrasi, ditambah lagi saat sesi
wawancara ayahnya mengaku sebagai karyawan tidak tetap yang tidak jelas
gajinya. Di tahun yang sama, tidak ada lagi berkas pengajuan beasiswa anak
didik, maka yayasan memutuskan untuk memberinya beasiswa bulanan. Ia tidak
perlu membayar iuran rutin seperti siswa yang lain.
Hanya
saja, ternyata ia memiliki tunggakan uang pendaftaran dan uang kegiatan
bulanan. Admin kami, bu Kasih, sudah mengingatkannya secara baik-baik.
Menuliskan surat tagihan penunggakan, memberitahunya lewat pesan singkat di
whatsapp, membuat surat panggilan untuk datang ke sekolah.
Semuanya
belum membuahkan hasil.
Itulah
yang membuatnya merasa perlu melibatkan aku sebagai kepala sekolah, untuk
meminta saran apa kiranya tindakan yang harus dilakukan.
Aku
tersenyum, berusaha membuatnya tenang.
“Bu
Kasih sholihah, tenang saja ya, untuk urusan Mama Marina, biar dialihkan
menjadi tanggung jawab saya saja,”jelasku.
Tinggal
aku yang terdiam memikirkan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini.
***
“Mama
Marina, boleh ke ruangan saya sebentar?”tembakku ketika menemuinya di gerbang
sekolah. Ia masih rutin mengantar anaknya ke sekolah, namun hanya sampai depan pintu
gerbang saja. Hari itu jadwalku piket menyambut anak-anak di depan gerbang
sekolah.
Ia
terlihat salah tingkah, namun tidak memiliki pilihan lain. Aku meminta salah
seorang guru menggantikan tugasku dulu.
Ini
memang cara pertama yang bisa kupikirkan untuk mendengar penjelasannya soal
tunggakan biaya sekolah Marina. Jika ia menolak untuk dipanggil via surat,
mengapa tidak kita ajak bicara saja ketika ia datang ke sekolah. Alhamdulillah,
dugaanku benar.
Sayangnya
obrolan kami terkesan hanya basa-basi saja.
“Mama
Marina, saya dapat kabar dari Bu Kasih soal tunggakan Marina,”mulaiku. Belum
juga belum, mengalirlah ceritanya soal jualan yang sepi, biaya sekolah
kakak-kakak Marina juga biaya rumah sakit yang harus ditanggungnya karena adik
Marina sakit.
Aku
memutus obrolan kami ketika bel tanda masuk sekolah berbunyi. Aku memberi
tenggat waktu, awal pekan depan harus ada uang yang masuk untuk mencicil
tunggakannya.
***
Pekan
selanjutnya, Bu Kasih hanya menggeleng saat kutanyakan adakah uang masuk untuk
tunggakan Marina.
Aku
berpikir lagi.
Sekarang
Marina tidak pernah lagi diantar oleh mamanya ke sekolah. Selalu tukang ojek
ataupun kakaknya yang juga harus lanjut pergi ke sekolah. Beberapa kali ditanya
soal mamanya, Marina hanya bilang, mamanya sibuk jualan.
Baiklah,
hari ini aku akan berkunjung ke rumahnya sambil mengantar Marina pulang. Semoga
saja mama Marina mau menemuiku di rumahnya.
Wajahnya
terlihat sangat kaget saat melihatku ada di depan pintu.
“Eh,
Bu Fat, memang ojek langganan Marina terlambat menjemput ya?”tanyanya kikuk
sebelum mempersilahkanku masuk ke rumahnya.
Aku
memperhatikan perabotan di dalam rumahnya. Semua tertata rapih dan berkelas.
Boneka rusia berbagai ukuran pun nampak menghiasi salah satu raknya. Mama
Marina bersikeras ingin membuatkanku minuman, sehingga aku dipersilahkan untuk
menunggu di ruang tamu.
“Bu
Fat repot-repot sampai harus mampir kesini. Ini masalah tunggakan yang kemarin
ya, Bu,”nada bicaranya terdengar lain, “Bu, saya tidak mungkin lari dari tanggung
jawab, kok, apalagi kan ini uangnya tidak seberapa, tapi maaf ya, Bu, untuk
urusan sekolah, saya akan selesaikan di sekolah..besok.”
Aku
terhenyak agak kaget namun memaksakan senyum.
“Baiklah,
Bu. Besok ditunggu di sekolah,”ujarku mengakhiri kunjunganku di rumahnya.
Mungkinkah
gaya bicara pedas ini efek dari adanya desas-desus di sekolah. Beberapa ibu
yang masih menunggui anaknya di depan sekolah mempersoalkan mengapa Mama Marina
harus menemuiku pagi itu dan mereka mengambil kesimpulan : Mama Marina memiliki
masalah keuangan di sekolah.
***
Apakah
keesokan harinya mama Marina datang ke sekolah?
Ya,
betul sekali.
Jawabannya
adalah tidak, saudara-saudara.
Bu
Kasih kuminta untuk menghubunginya via telepon sekolah. Tidak ada jawaban.
Padahal Marina selalu rajin pergi ke sekolah, riang di kelas walaupun bukan
anak yang menonjol secara akademis.
Sengaja
aku menahan Marina di sekolah. Meminta tukang ojek langganannya untuk pulang
dan menyampaikan pesanku, namun tidak ada tanggapan. Tidak ada satupun dari
orangtuanya yang datang menjemput. Keduanya sedang tidak ada di rumah, begitu
kilahnya. Maka akupun mempersilahkan Marina pulang karena ia sudah terlihat
mengantuk.
***
Keesokkan
harinya, di jam istirahat, aku mendengar ada orang yang berteriak-teriak di
ruangan TU. Aku yang habis melakukan supervisor di kelas segera menghampiri
sumber suara.
Mama
Marina.
“Mentang-mentang
anak saya dapat beasiswa, apakah anak saya layak diperlakukan seperti kemarin.
Ditahan di sekolah dengan alasan belum bayar. Jangan mentang-mentang karena ini
sekolah elit, kami yang orang biasa ini bebas diinjak-injak begini,”
Ketika
ia melihat kedatanganku, ia melanjutkan omelannya.
“Bukannya
seharusnya setiap guru di sini punya akhlaq yang baik. Ini malah terus saja
sibuk menagih hutang bahkan sampai dikejar-kejar ke rumah. Apa tidak percaya
saya akan membayar? Ingin menanamkan adab tapi kok tidak beradab,”cecarnya
lagi.
Beberapa
guru tampak berusaha meredam amarahnya. Akupun hendak mengajaknya berbicara
berdua saja agar privasi kami lebih terjaga, sebab beberapa pasang mata sudah
mulai ikut ke ruang TU. Orangtua murid yang lain. Namun ia menolak tawaranku.
Ia
menolak membayarkan tunggakannya kemudian mengurus surat keluar untuk Marina.
Ya, ia merasa sakit hati karena telah ‘dipermalukan’ seperti itu oleh pihak
sekolah dan memilih akan pindah ke sekolah lain saja. Aku dan Bu Kasih yang
tahu duduk persoalannya hanya bisa saling berpandangan.
***
Kisah
ini benar adanya. Aku dan Mama Marina masih sering berpapasan di jalan atau di
supermarket tempatku belanja bulanan. Aku mencoba menyapanya dan melempar
senyum, namun ia seperti pura-pura tidak melihatku kemudian memilih berjalan
menjauhiku. Setiap kali. Bahkan semua guru di sekolah kami yang bahkan hanya
menerka-nerka masalah yang terjadi pun ikut kena imbasnya.
Sampai
kapan? Entahlah...
Jika
suasananya sudah lebih baik, aku akan mencoba untuk berbaikan lagi dengan Mama
Marina.
Komentar
Posting Komentar