Ketika Rosa jadi Relawan
Rosa
terdiam mengingat pembicaraannya dengan Ibu. Ibu masih belum merestui niatnya
untuk menjadi relawan di daerah bencana.
Alasan
pertama, terlalu berbahaya. Daerah bencana seharusnya dihindari, bukan
didatangi, begitu kata ibu. Tapi Rosa kan tenaga medis, sudah seharusnya ia
membantu orang yang membutuhkan pertolongannya. Petugas medis di daerah bencana
biasanya tidak sebanding dengan jumlah korban yang ada.
Alasan
selanjutnya adalah karena Rosa adalah anak wanita satu-satunya, bungsu dari
keluarga Marwan. Adik kesayangan. Dimanja ketiga abangnya. Ia bahkan tak perlu
kerepotan ketika hendak bepergian kemana-mana. Salah satu abangnya pasti siap
menjemput dan mengantarnya.
Sudah
beberapa kali ia mengajukan niatnya ini pada orang tuanya. Lebih tepatnya pada
ibunya, karena bila ibu merestui, akan lebih mudah meminta restu ayahnya. Setiap
kali meminta izin, setiap kali itu juga ia tidak pernah diizinkan pergi. Dengan
beragam alasan yang berbeda.
Dengan
cara apa lagi Rosa harus membujuk ibunya. Beberapa kali ia mengajukan diri tanpa
meminta izin ibunya dahulu. Hasilnya, namanya tidak pernah ada di daftar relawan
yang siap diberangkatkan. Rosa mengambil kesimpulan, ibunya belum merestui,
maka Allah pun tidak meridhoinya. Sejak saat itu, ia bertekad akan menunjukkan
kesungguhannya di depan ibunya sambil berharap ibunya merestui.
Tapi
setelah bulan-bulan berlalu, semangatnya mulai melemah. Mungkin sebaiknya ia
memang hanya jadi petugas medis di daerahnya saja.
***
Hingga
akhirnya...
Peristiwa
itu terjadi di kotanya sendiri. Gempa 7,9 SR, berpotensi tsunami. Ia dan semua
tenaga medis di rumah sakit tempatnya bekerja segera dikerahkan ke lokasi
bencana. Hatinya berdebar, entah senang karena apa yang ia cita-citakan akan
segera tercapai atau karena takut akan situasi yang akan ia hadapi.
Benar
saja, Rosa terlalu gugup berada di sana. Padahal ia hanya bertugas di kamp
penampungan, bukan langsung di daerah bencana. Beberapa kali Rosa terlihat
gemetar ketika menyentuh pasien, ditegur dokter senior karena terlalu lama
mengambil tindakan sampai akhirnya ia memutuskan untuk menepi sebentar. Meminta
suntikan semangat dari orang yang paling dia cintai selama hidupnya. Ibu.
[Bu..assalamu’alaikum]
Penerima
telepon di sebelah sana akhirnya menghela nafas lega. Ibunya sudah berkali-kali
mencoba menelponnya sejak tadi pagi, sejak tersiar kabar berita tentang gempa,
semua keluarganya sudah berhasil dievakuasi ke lokasi yang lebih aman. Hanya
tinggal menunggu kabar darinya.
[Alhamdulillah,
alhamdulillah, akhirnya Ibu bisa mendengar suaramu lagi, Nak. Kamu baik-baik
saja, kan?]
Rosa
mengangguk, lupa kalau ibunya tidak bisa melihatnya.
[Iya,
Bu. Rosa baik-baik saja]. Rosa menggantung kalimatnya. Haruskah ia menceritakan
soal apa yang terjadi ketika ia menghadapi para pasien di tempat bencana?
[Nak,
maafkan Ibu ya, tidak pernah mengizinkan kamu menjadi relawan. Sekarang,
lakukan tugasmu dengan baik. Ibu dan ayah mendoakanmu dari rumah]
Entah
mengapa, Rosa benar-benar mendapatkan suntikan semangat itu. Bukankah ini yang
selama ini ia tunggu? Mengapa saat kesempatan itu ada di depan mata, ia melewatkannya
dengan sia-sia?
Ia
bergegas kembali melaksanakan tugasnya. Kali ini dengan perasaan ikhlas,
berusaha melakukan yang terbaik yang ia bisa.
Tanpa
Rosa ketahui, gelombang setinggi 15 meter sedang menuju ke arahnya, bersiap
menyapu apapun yang akan dilewatinya.
Komentar
Posting Komentar