Kambing Nek Ating
Nek Ating
menyerahkan satu kresek besar berwarna hitam kepadaku. Isinya uang,
lembaran-lembaran lusuh yang berjejalan didominasi oleh pecahan dua ribu
rupiah.
“Neng, tolong
dihitung dulu uangnya. Apa sudah cukup ya?”
Aku
mengangguk. Lalu mengeluarkan semua isi kantong kresek itu. Kupisahkan uangnya
per seratus lembar. Kulihat Nek Ating tampak harap-harap cemas sambil
menungguku menghitung uangnya.
Nek Ating
adalah salah satu tetanggaku. Belum lama ini aku dan beberapa pengurus remaja
masjid membagikan brosur untuk mengajak para warga berkurban tahun ini. Tidak
disangka-sangka, yang langsung mendaftar untuk ikut berqurban ialah Nek Ating
ini. Usianya 70 tahun-an. Sehari-hari ia hanya berjualan gorengan di depan
rumahnya. Dagangannya laris manis karena rumahnya terletak di depan masjid, tempat
kami para remaja masjid mengajar anak-anak kecil mengaji setiap sore.
Berkali-kali
ia tampak memandangiku ketika hendak membeli gorengannya. Seolah-olah ia ingin
mengatakan sesuatu tapi masih ragu-ragu. Hingga akhirnya ia memberanikan diri
menyampaikan niatnya kepadaku, lalu memintaku untuk membantunya menghitung
jumlah uang tabungannya.
Jadi di
sinilah aku, menghitung uang Nek Ating di rumahku. Nek Ating malu jika harus
membawa uangnya ini ke masjid karena uangnya receh semua.
Aku memandangi
tumpukan uang di depanku, lalu tersenyum.
“Alhamdulillah
cukup, Nek. Nenek bisa berkurban tahun ini, insyaaAllah.”
Nek Ating
tampak berkaca-kaca mendengar jawabanku. Ia lalu menitipkan uang itu kepadaku,
dan menyerahkan padaku soal pemilihan hewan kurbannya.
***
“Neng Lia,
kesini.” panggil seseorang setelah aku merapihkan meja panjang yang digunakan
untuk mengaji tadi sore. Ternyata Pak Lukman, ketua DKM Masjid. Aku
menghampirinya.
“Bapak dengar,
katanya Nek Ating akan ikut berkurban ya, tahun ini. Apa benar uangnya sudah
cukup?”ujarnya memastikan.
“Iya, Pak.
Alhamdulillah sudah,” jawabku sambil mengangguk, “sekarang uangnya masih ada di
rumah saya, rencananya baru akan disetorkan ke Bank hari Senin besok, Pak”
“Tidak kamu
tambah-tambahi, kan?”
Aku menoleh ke
arah Pak Lukman, mencoba memastikan maksud dari perkataannya barusan. Ia
ternyata menangkap keherananku.
“Eh, maksudnya
begini. Kita kan tahu siapa Nek Ating. Untuk hidupnya sehari-hari saja ia masih
harus dibantu oleh warga di sini, tiba-tiba terdengar kabar bahwa Nek Ating
sudah mendaftar untuk ikut berkurban tahun ini. Agak terasa janggal, kan?”
Aku tersenyum
dipaksakan. Mencoba memahami pendapatnya.
Sebenarnya,
aku juga sempat ragu seperti ini, saat pertama kali Nek Ating menyampaikan
niatnya kepadaku, tapi ragu itu berganti menjadi kagum dan hormat setelah
menghitung jumlah uang yang diserahkan Nek Ating beberapa hari kemarin. Entah
berapa lama ia menabung hingga uangnya bisa terkumpul untuk membeli seekor
kambing.
“Insyaa Allah
tidak janggal, Pak. Uangnya dikumpulkan sudah sejak lama.” jelasku mencoba
mengajaknya ikut berbaik sangka pada Nek Ating.
“Oh begitu,
baiklah.”
Pak Lukman
nampak tidak puas, namun tidak punya alasan untuk terus mengorek penjelasan
dariku.
***
Idul Adha
tiba, lantunan takbir terdengar dari berbagai penjuru. Begitupun dari masjid
dekat rumahku. Suara kambing mengembik pun terdengar bergantian.
Aku berjalan
menuju masjid di samping Nek Ating dan Ibuku. Tampak beberapa orang
menunjuk-nunjuk salah satu kambing di lapangan sebelah masjid.
Aku
mempercepat langkah. Berharap masih mendapat tempat di barisan ibu-ibu yang
sudah memadati tempat sholat.
***
Tampak
kerumunan anak-anak mengelilingi hewan kurban yang menunggu disembelih.
Beberapa tampak membicarakan seekor kambing yang memang mencolok dari kambing
lainnya.
“Alhamdulillah
ya, kurban kali ini cukup banyak yang menitipkan hewan kurban di masjid kita.
Mulai dari kambing-kambing besar ini sampai kambing paling kecil berwarna hitam
ini.” kata Pak Lukman sambil menoleh ke arahku.
“Neng, kalau
kambingnya kecil begini, paling beratnya karena tulangnya semua.”selorohnya
pelan. Berharap hanya kami berdua yang bisa mendengar. Ia sepertinya menebak
bahwa kambing itu milik Nek Ating, kambing paling kecil yang harganya paling
murah.
“Iya, Pak.
Uang tabungan saya hanya cukup membeli kambing yang ini.”jelas saya. Ya,
kambing hitam ini memang milikku, di akhir hari pembelian ternyata uang yang
sudah kutabung harus terpakai untuk keperluan lain yang lebih mendesak.
Alhamdulillah, masih cukup.
Pak Lukman
tampak tidak enak karena sudah berkata seperti itu padaku.
“Eh..ini punya
Neng Lia?”tanyanya memastikan.
Aku
mengangguk. Lalu meneruskan kalimatku lagi .
“Kalau punya
Nek Ating, yang itu, Pak,” ujarku sambil menunjuk ke arah kambing paling besar yang
terikat di pojok lapangan.
Epilog
Nek Ating
mengumpulkan uang untuk kurban selama 5 tahun, setiap pekan 5 hari di jadwal
anak-anak mengaji, sebesar 5000 rupiah. Salut untuk konsistensinya untuk tidak
mengutak-atik tabungan kurbannya. Sengaja ia menunda untuk tidak membeli kurban
di tahun-tahun sebelumnya. Ia ingin membeli kambing terbaik sebagai bentuk
pengorbanan terbesarnya di hadapan Allah.
Harus tahun
ini, begitu katanya, karena tahun depan belum tentu bisa bertemu Idul Adha
lagi.
Komentar
Posting Komentar