Cinta untuk Ayah
Aku memandangi punggungnya. Aku mulai lupa kapan terakhir kali aku merasa cinta padanya. Hatiku dipenuhi oleh kekecewaan, kemarahan juga kekesalan yang terus berusaha kuredam.
Laki-laki itu sedang asyik dengan kegiatannya sendiri, mengisi ember dengan air lalu merendam kaus kakinya sendiri, menuangkan sabun lalu menyikat bagian dasar kaus kakinya dengan seksama.
Dia seharusnya bisa meminta bantuanku untuk melakukan itu, tetapi dia memilih melakukannya sendiri. Akupun tidak berinisiatif menawarkan bantuan.
Punggung itu, menyiratkan kerja kerasnya selama ini. Kerja-kerja yang mengantarkan aku hingga ada di posisi ini.
Punggung itu milik orang paling berjasa dalam hidup seorang Namira. Ia adalah ayahku.
***
Aku adalah anak tunggal. Setidaknya sampai usiaku 17 tahun. Setelah itu lahirlah seorang adik kecil perempuan lucu yang membuatku jadi kakak.
***
Aku adalah anak tunggal. Setidaknya sampai usiaku 17 tahun. Setelah itu lahirlah seorang adik kecil perempuan lucu yang membuatku jadi kakak.
Nadira, itu nama yang kupilihkan untuk adikku. Ibu menyetujui itu, supaya namanya terdengar mirip dengan namaku. Juga agar bayi perempuan itu kelak tahu, namanya adalah hadiah pertama yang ia terima dari aku, kakaknya.
Ayah di seberang telepon akhirnya juga menyetujui usulanku. Ya, ayahku tidak hadir saat adikku lahir. Setelah 17 tahun, pekerjaannya masih sama. Menjadi orang kepercayaan keluarga Broto. Keluarga yang cukup terpandang di kota ini.
Ayah harus ikut kemanapun Pak Broto pergi. Bisnis Pak Broto menggurita di negara ini. Perjalanan antar kota antar provinsi sudah menjadi makanan sehari-hari. Tidak pulang berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan tidak boleh dikeluhkan.
Ibu sudah menganggapnya sebagai sebuah kewajaran, tetapi aku tidak.
***
Ada pesan singkat nyasar ke ponselku. Dari seorang perempuan bernama Nila. Aku mengetahui namanya dari pesan yang ia tulis sendiri.
***
Ada pesan singkat nyasar ke ponselku. Dari seorang perempuan bernama Nila. Aku mengetahui namanya dari pesan yang ia tulis sendiri.
Pak, jangan lupa bawa oleh-oleh untukku ya besok. Nila.
Pesan aneh yang tidak kugubris. Namun nomor itu menelponku, berkali-kali sampai akhirnya kuangkat.
Perempuan itu merasa harus menjelaskan bahwa ia salah mengirim sms. Ia adalah istri teman ayahku, dan seharusnya sms itu untuk teman ayahku, bukan untuk ayahku.
Aku malah merasa ganjil.
Saat itu untuk pertama kalinya aku meragukan ayahku sendiri.
Ketika ayah pulang, ia membawakanku ponsel keluaran terbaru. Oleh-oleh katanya. Aku malah curiga, ini hadiah tutup mulut-kah? Namun aku terlalu takut untuk mengkonfirmasi.
***
Seperti biasa, ketika ia pulang, pasti ada adik sepupu atau ponakannya yang datang. Menurut ibu, kerabatnya datang untuk meminjam uang. Pinjaman ringan yang seringkali diikhlaskan menjadi pemberian.
***
Seperti biasa, ketika ia pulang, pasti ada adik sepupu atau ponakannya yang datang. Menurut ibu, kerabatnya datang untuk meminjam uang. Pinjaman ringan yang seringkali diikhlaskan menjadi pemberian.
Di mataku ayah begitu dermawan. Namun perkataan ibu selanjutnya membuatku menarik penilaianku lagi.
"Ayahmu, selalu berusaha baik di depan keluarga besarnya. Namun ia selalu lupa pada keluarganya sendiri. Bagaimana ibu harus mengingatkan ayahmu, Nak, bahwa keluarga yang wajib ia nafkahi duluan adalah kita."
Mengalirlah cerita tentang kiriman uang yang sering terlambat. Permintaan untuk berhemat yang dibarengi dengan kisah-kisah barang branded yang baru ayah beli. Bagaimana ibu harus putar otak ketika uang bulanan harus menjadi uang dua bulanan atau tiga bulanan.
Aku yang belum genap dua puluh harus berusaha mencari cara agar kedua orangtuaku bisa berkomunikasi dengan baik? Belum apa-apa aku sudah menyerah duluan.
Pembicaraan ini bahkan belum menemukan solusi sampai ayah harus bertugas lagi.
Ia bahkan lupa harus menyelipkan sejumlah uang di tangan ibu. Salahnya lagi, ibu tidak meminta. Ia hanya mengeluh padaku setelah ayah pergi.
Aku, sungguh aku tidak tahu harus bagaimana. Namun jelas, aku kecewa, pada ayahku sendiri.
***
Rumahku digedor orang dengan keras. Ibu yang masih sibuk dengan Nadira tidak beranjak membukakan pintu. Aku yang ketakutan perlahan mendekat ke arah pintu dan membukanya.
***
Rumahku digedor orang dengan keras. Ibu yang masih sibuk dengan Nadira tidak beranjak membukakan pintu. Aku yang ketakutan perlahan mendekat ke arah pintu dan membukanya.
"Apa benar ini rumah Bapak Iman?"tanya orang itu.
Mereka meminta izin untuk masuk.
"Kalau saya boleh tahu, ada apa Pak? karena Bapak Iman sedang tidak ada di rumah," terangku.
"Kami akan menjelaskan hal ini sambil duduk, Dik. Tidak enak apabila harus membicarakan ini di luar."
Perasaanku jadi tak enak. Aku memanggil ibuku. Sambil menggendong Nadira aku mendengarkan pembicaraan mereka.
Ayah terlilit hutang dengan jumlah besar pada rentenir. Ayah tidak bisa dihubungi berhari-hari, tidak lagi membayar secara rutin. Makanya kedua orang itu mendatangi rumah kami. Dua orang itu adalah debt collector.
Mereka meminta maaf harus datang secara tidak sopan. Mereka pikir ayah bersembunyi di rumah. Mereka bahkan kaget karena kami tidak tahu soal utang ayah. Merka hanya menitipkan pesan untuk ayah kemudian pamit pergi.
Kali ini, aku benar-benar kecewa.
***
Kami meminta ayah pulang, meminta ayah menjelaskan soal hutangnya. Namun ayah berkelit baru bisa pulang akhir pekan. Kami siap menunggu.
***
Kami meminta ayah pulang, meminta ayah menjelaskan soal hutangnya. Namun ayah berkelit baru bisa pulang akhir pekan. Kami siap menunggu.
Tapi ternyata, penjelasan yang kami tunggu justru tidak pernah kami dapatkan.
Ayah pulang. Mulai mengomentari kondisi rumah yang berantakan, mengapa aku dan ibu tidak menjadi perempuan yang sigap untuk membereskan rumah.
Yang ayah tidak mau tahu, di usia batita, kecepatan Nadira mengacak mainan jauh lebih cepat dari kemampuan kami membereskan.
Namun, aku tetap merasa bahwa ini adalah bentuk pengalihan agar ia tidak didesak soal hutangnya.
Ia terus saja mencari kesalahan kami. Rasa masakan yang salah. Anak yang rewel. Kamar mandi yang kotor. Biaya listrik yang tinggi.
Aku dan ibu hanya bisa saling berpandangan. Pasrah.
***
Hingga tibalah saat itu. Ayah diminta mundur dari pekerjaannya. Murni karena usia.
***
Hingga tibalah saat itu. Ayah diminta mundur dari pekerjaannya. Murni karena usia.
Ayah dianggap kurang cekatan lagi. Penggantinya adalah seorang laki-laki seusia anak Pak Broto, yang sekarang juga meneruskan bisnis ayahnya.
Kini, ayah hanya beraktivitas di rumah saja. Merasa kehilangan guna. Tak ada lagi komentar pedas atas apa yang aku dan ibu lakukan di rumah, tak ada keluhan. Lebih banyak diam.
Aku hanya berani menatap punggungnya. Tanpa berani bertanya. Terus saja berusaha mematikan semua perasaan negatifku dan mengubahnya jadi cinta.
Ia ayahku, walaupun aku kecewa, marah dan kesal padanya. Aku rasa, ia berhak atas cintaku.
Komentar
Posting Komentar