Bukan Peter Pan
Hari kedua
lebaran, tidak seperti biasanya, keluarga kami memutuskan untuk ‘tamasya’ ke
kolam renang umum. Seperti yang sudah kuduga, suasananya akan sangat ramai, tampak
orang-orang hilir mudik membawa pelampung berbentuk hewan warna-warni sambil
menggendong balitanya. Bau asap rokok bercampur dengan aroma rebusan mie instan
menusuk hidung.
Kami yang
tidak mempersiapkan tikar untuk alas duduk kebingungan harus menaruh
barang-barang kami di mana. Sampai di ujung arena, biidznillah, ada sebuah keluarga yang baru saja selesai berenang,
aku langsung menandai tempat itu sebagai tempat keluarga kami berkumpul.
Terdengar
suara musik dangdutan di tengah kolam, penari berbaju minim berlenggak-lenggok
di tengah kolam, dikelilingi bapak-bapak yang bergoyang sambil menyelipkan
lembaran kertas berwarna biru.
Aku
dan tanteku saling berpandangan lalu menghela nafas. Sepertinya kami harus
berdamai dengan kondisi ideal yang kami inginkan di tamasya kali ini. Semoga
kebahagiaan yang kami rasakan di hari ini karena bisa bepergian bersama-sama,
bisa menutupi semua ketidaksempurnaan suasana di kolam.
Lalu,
tibalah giliran kami selesai di kolam. Aku dan adik-adikku pun ikut antrian bilas
di kamar mandi perempuan. Kamar mandi laki-laki dan perempuan hanya terpisahkan
oleh tangga.
Ada
satu pemandangan yang sangat mengusik hatiku saat menunggu adikku di kamar
mandi. Tampak seorang anak laki-laki berusia remaja tanggung, kutaksir usianya
empat belas sampai lima belas tahun, berteriak-teriak memanggil seseorang. Aku
menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan pada siapa sebenarnya teriakan itu
ia tujukan.
Seorang
wanita berpakaian serba ketat tampak memandang ke arahnya, menaikkan dagunya
untuk memastikan lagi apa yang diteriakan oleh remaja itu. Kuduga anak lelaki
itu adalah anak sulung si ibu.
“Bawa
sampo, Mah?”teriak si anak lagi.
Ibu
itu menggeleng.
“Beli
atuh, Mah!”teriaknya lagi.
Si
ibu segera menghampiri suaminya untuk meminta uang, kemudian membelikan sampo
di warung depan kamar mandi, lalu mengantarkannya ke kamar mandi.
Beberapa
saat kemudian, si anak tampak berteriak lagi.
“Mah,
celananya di mana?” tanyanya lagi, masih dalam suara keras.
Si
ibu tampak mencari pakaian yang diminta si anak dalam tas yang ia bawa,
kemudian mengantarkannya lagi ke kamar mandi. “Bajunya tidak perlu dibawa
kesini, Mah, nanti saja aku pakai di depan.”
Lalu
setelah itu kulihat si ibu membawa baju basah dalam tangannya, memeras hingga
airnya sedikit kemudian memasukkannya ke kantong plastik yang sudah ia siapkan
sejak awal.
Aku
menggelengkan kepala tanda heran. Anak seusia itu masih perlu dibantu semua
perlengkapan pribadinya? Menyedihkan sekali.
***
Aku
teringat pada satu istilah yang pernah kudengar, Peter Pan Syndrome, yaitu seorang laki-laki atau perempuan dewasa
yang tidak matang secara sosial.
Pernah
mendengar atau menonton kisah Peter Pan, kan? Kisah seorang anak laki-laki yang
menolak jadi dewasa. Ia lebih suka menjadi anak-anak yang tidak perlu
bertanggung jawab atau dibebani berbagai kewajiban.
Nampaknya,
sindrom ini juga banyak terjadi di sekitar kita. Ya anak laki-laki di kamar
mandi itulah contohnya. Untuk hal yang berkaitan dengan dirinya saja, ia tidak
bisa. Apalagi mengurus orang lain.
Sebagai
seorang ibu dengan anak balita, ada ketakutan bahwa rasa sayang kita terhadap
anak akan menimbulkan ketergantungan si anak pada kita. Awalnya mungkin si ibu
akan merasa senang karena selalu dibutuhkan oleh anak, lama-kelamaan, usia
bertambah, si ibu akan merasa kewalahan menghadapi anak yang belum mandiri.
Solusinya?
Ada
beberapa tahap yang bisa dilakukan, pertama beri kepercayaan pada anak.
Beritahu pada anak bahwa kita sebagai orang tuanya yakin ia pasti bisa
melakukan tugas yang kita perintahkan kepadanya. Jangan patahkan semangatnya di
awal.
Kedua,
beri tanggung jawab secara bertahap. Mulai dari yang paling mudah, kemudian
naikkan levelnya perlahan. Anak akan belajar untuk lebih bertanggung jawab lagi
dengan tugas yang lebih berat dari sebelumnya.
Ketiga,
berani melepas anak. Kita tidak selamanya bisa mendampingi anak, siapkan ia
agar bisa bertahan ketika kita tidak ada di sampingnya. Ikhlaskan dan doakan,
mungkin sesekali anak kita akan jatuh, namun kita akan yakin bahwa ia akan
mampu bangun dan berjalan lagi.
Selamat
menyiapkan anak kita menjadi orang yang bisa bertanggung jawab, dan bukan hanya
sekedar menjadi Peter Pan yang lucu dan menggemaskan.
Komentar
Posting Komentar