Berganti Sesal
Ada yang salah pada diriku. Aku menyadarinya. Kejadiannya sudah terlalu lama,
harusnya aku bisa mudah memaafkan seseorang yang membuatku terluka. Apalagi ini
bukan orang lain. Ini bapakku.
Berhari-hari
setelah telepon Bapak, aku tidak bisa tidur. Aku dihantui rasa bersalah.
Beberapa kali aku melakukan kesalahan di dapur. Menuangkan air dari teko ke
cangkir hingga luber, menyendokkan garam
terlalu banyak pada masakan sehingga rasanya tak karuan. Aku bahkan melupakan
anakku yang sedang mandi di kamar mandi, membiarkannya main hampir 2 jam sampai
kulitnya keriput.
Jelas
saja Mas Taufan menyadari ada yang aneh pada istrinya.
Namun
ketika ia memanggilku, meminta penjelasan atas apa yang terjadi padaku. Aku
hanya bisa menangis tersedu-sedu. Bagaimana bisa menjelaskan pada suamiku bahwa
istrinya baru saja menyakiti orang tuanya. Aq qqqqqqqqqqqqqqqq
***
Bapak
meninggal. Mas Taufan mengabariku di sambungan telepon, ia sendiri dikabari
oleh Ratna karena kesulitan menghubungi telepon rumahku. Aku memang mencabut
kabel telepon selama beberapa hari, takut bapak menelpon lagi.
Telepon langsung
berdering begitu kupasang kabelnya lagi. Kabar duka dari rumah ibu.
Aku tetap
tidak menangis, meminta Mas Taufan bisa mewakili kehadiranku. Berharap Mas Taufan
bisa memberikan alasan terbaik pada keluargaku mengapa aku tidak memaksakan
diri untuk hadir dan melihat jasad bapak untuk terakhir kali.
Entah butuh
keajaiban macam apa untuk menggerakkan hatiku. Sampai saat ini, aku belum
merasa perlu memaafkan bapak. Biarlah bapak pergi, biarlah sakit itu terbawa
sampai mati, begitu piirku.
***
Dia yang belum memaafkan orang lain yang
menyakitinya akan terus saja terbebani dengan luka lama. Orang yang
menyakitinya mungkin sudah lupa atau bahkan tidak sadar bahwa ada yang terluka
karenanya, bebas melangkah maju. Tapi, dia, akan terus terpenjara oleh rasa
sakit hati yang ia ciptakan sendiri.
Aku
membaca artikel itu di koran bekas yang menjadi bungkus bumbu dapur yang kubeli
di warung sebelah rumah. Tidak jelas judulnya apa karena robekan kertasnya
acak, namun satu paragraf ini rapih terbaca, seolah takdir yang membawanya
untuk kucermati.
Aku
membacanya ulang sambil mengangguk-angguk. Lalu kemudian tergugu.
“Kamu
baca apa?” tanya Mas Taufan mengagetkanku. Aku hendak mengelak namun ia lebih
dulu mengambil potongan kertas di tanganku.
“Kamu masih
marah sama bapak ya, De?” ujarnya memastikan, “Kemarin Ibu dan Ratna cerita
banyak soal bapak dan kamu,” jelasnya.
Aku
menatapnya, mencoba menebak kira-kira Ratna sudah bercerita sebanyak apa.
“Mau sampai
kapan, Dik?”tanyanya lagi.
Aku menggeleng
lemah. Menggambarkan ketidaktahuanku akan perasaanku sendiri. Mas Taufan tidak
tahu bapak yang sebenarnya.
Kata-kata
malam itu hanyalah puncak gunung es dari banyaknya kekecewaanku kepada bapak,
yang terus saja dilayani ibu sekalipun seringkali kedapatan ada main dengan
wanita lain, yang terus saja menghabiskan uang untuk judi dan mabuk-mabukkan.
Dia
sudah menyakitiku, juga ibu.
“Setiap
kita pasti pernah berbuat salah, Dik. Kalau Bapak pernah berbuat salah padamu,
maafkan beliau, biar langkahnya lebih mudah di alam kubur sana, ya” pintanya
lagi memelas.
Jauh
di dasar hatiku, aku sebenarnya ingin bebas dari rasa sakit hati ini. Aku tidak
mau lagi membawa beban ini lebih lama.
Aku
memandangi Mas Taufan.
“Mas,
besok kita ziarah ke makam Bapak, ya,”
Komentar
Posting Komentar