Dia, laki-laki dari masa lalu

"Teteh sudah ingat aku, ya?"tembaknya.
Aku mengangguk. "Abi kan ya..hehe..dari kemarin aku kira siapa ini ada orang SKSD. Ternyata Abi. Sehat, Bi?"
Ia terlihat senang karena aku mengingatnya.
"Aku sehat, Teh"
Dan kami terlibat obrolan santai sampai akhirnya ia mengeluarkan pertanyaan pamungkasnya.
"Teteh sudah menikah, kan?"
Pertanyaan retoris. Harusnya ia tahu jawabannya. Aku kemarin menggendong seorang anak perempuan yang wajahnya sangat mirip denganku.
Kalila, anak sematawayangku.
Sebelum menjawab, aku menghela nafas panjang.
"Aku bercerai, Bi."terangku, "Tiga tahun yang lalu."
Aku tak mengerti mengapa bisa semudah itu menjelaskan pada Abi. Apakah karena aku masih menganggapnya 'anak kecilku'.
Dulu, setiap kali bermain aanjangan. Abi selalu berperan sebagai anakku, ia manut saja ketika 'kusuapi makanan dengan sendok', lalu kugandeng tangannya sambil berjalan-jalan ke 'pasar buah'.
Dulu, kami begitu dekat. Hingga akhirnya Abi pesantren di luar kota dan aku sibuk dengan persiapan SNMPTN-ku. Lalu memiliki hidup masing-masing.
Lamunanku terhenti karena ucapan maafnya.
"Maaf ya, Teh. Abi lancang nanya macam-macam sama Teteh."
"Never mind." tangkisku cepat.
***
Lalu, kami bertemu lagi. Tidak sengaja. Mungkin lebih tepatnya disebut berpapasan.
Sambil saling melempar senyum. Tanpa kata.
Kami tidak pernah mengobrol lagi sejak pengakuanku saat itu. Kami juga tidak pernah bertukar nomor telepon untuk sekedar menyimpan kontak -untuk kemudian menghubungi ketika sempat.
Hingga malam itu, Aku sudah siap untuk tidur. Baru saja aku menidurkan Kalila di kamarnya. Aku mendengar gawaiku berbunyi, tanda pesan masuk.
Nomor tak dikenal. Jantungku berdebar membaca tiap kata yang tertulis di sana.
'Dear, Mila.
Maafkan aku lancang menghubungimu begini.
Aku masih merasa bersalah atas pertanyaanku tempo hari. Tapi, itu membuatku berani bertanya banyak tentangmu pada teman-teman lain di organisasi tempat kita berkontribusi.
Adalah takdir aku dipertemukan denganmu lagi.
Aku bukanlah Abi yang dulu, bukan anak lima tahun yang hanya bisa takjub pada gadis yang terbang di atas karet loncat tinggi.
Aku Abi, seorang pria dewasa yang menolak diam saja ketika takdir membawanya menemui cinta pertamanya.
Tolong izinkan aku menjalani takdir ini dengan baik.
Sampai bertemu besok, Teh'
Ini... Abi? Hampir saja aku tergelak dan menekan tombol emot tertawa lebar banyak-banyak untuk menjawab pesannya.
Lalu, aku tersadar bahwa ia tidak main-main dengan apa yang ia sampaikan.
Cinta pertama? aku terkekeh lagi.
Saat aku kelas dua SMP, ada teman laki-laki yang menaruh hati padaku. Sering main ke rumah hanya untuk mengerjakan PR bersama, bukan hanya berdua.
Abi selalu ada. Memastikan bahwa laki-laki itu tidak melakukan PDKT denganku. Dulu aku kesal karena ia seolah menjadi adik kecil nakal yang usil pada teman-teman kakaknya. Jadi, itu... cinta?
Abi salah kira. Aku baik padanya karena murni menganggapnya adik. Sosok adik yang tak pernah ada dalam hidupku, karena aku juga anak sematawayang dari Papi dan Mami.
Aku tak sabar menunggu esok hari. Melihat betapa kikuknya ia setelah mengirimkan pesan ini. Aku terpejam sambil tersenyum tanpa melepas gawai dari genggaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Harus Kutulis?

Pertemuan kembali

re arrange